Kekerasan Baru Pecah di Ukraina
LUGANSK, SATUHARAPAN.COM - Kekerasan baru pecah di bagian timur Ukraina Selasa (29/4) ketika ribuan pengunjuk rasa pro Rusia menyerbu gedung-gedung penting, memperdalam krisis di negara itu setelah Moskow menyerang balik sanksi-snaksi Barat bergaya "Tirai Besi".
Para pengunjuk rasa yang dipelopori oleh sekitar 30 pria bersenjata serbu Kalashnikov dan peluncur granat menyerang markas kepolisian regional di kota Lugansk, di bagian timur Ukraina, menaikkan suhu bertambah panas dalam konfrontasi Timur-Barat yang terburuk sejak Perang Dunia.
Mereka sebelumnya menguasai kantor kejaksaan regional, merobek bendera Ukraina dan menggantinya dengan bendera Rusia, yang dipersalahkan oleh Barat karena memanas-manasi kekisruhan di negara bekas Republik Soviet.
Sejumlah kota di bagian timur sekarang jatuh ke tangan para militan pro Rusia, yang memandang para pemimpin dukungan Barat di Kiev "fasis" yang tidak sah dan menginginkan kemerdekaan atau akses yang sama sekali palsu kepada Rusia.
"Kami tidak menginginkan junta Nazi ini yang telah merebut kekuasaan di Kiev. Kami menginkan anak-anak dan cucu-cucu kami tumbuh di Rusia," kata seorang mantan insinyur kepada kantor berita AFP ketika dia mensurvei kekerasan di Lugansk.
Sementara polisi gagal meredam kekerasan dan di beberapa kasus hanya berjaga-jaga, Presiden sementara Ukraina Oleksandr Turchynov menyesalkan apa yang dia sebut "mereka diam saja" dan "melakukan pengkhianatan".
Setelah beberapa jam di bawah pengepungan, polisi di Lugansk meninggalkan markas dan senjata mereka kepada para pengunjuk rasa pro Rusia Selasa malam.
Para perwira, yang telah gagal berusaha memadamkan aksi pemerotes dengan granat dan gas air mata, meninggalkan gedung tak bersenjata setelah berjam-jam bernegosiasi mengenai nasib senjata mereka.
"Mereka belum matang, mereka berjumlah 18 dan merasa ketakutan," kata seorang pria bersenjata yang menolak memberikan namanya kepada kantor berita AFP.
"Kami di sini melindungi orang-orang," katanya memegang senjata Kalashnikov. "Kami tidak akan pernah menjadi orang pertama yang menembak."
Kekisruhan paling akhir itu menyusul peristiwa-peristiwa mencekam Senin di Donetsk, tempat para perman pro Rusia yang bersenjata alat-alat pemukul baseball, pisau dan kembang api menyerang unjuk rasa pro Ukraina. Peristiwa itu mencederai sejumlah orang.
AS
Sementara Amerika Serikat menuduh Rusia ingin “mengubah lanskap keamanan di Eropa timur,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry pada Selasa, meminta Moskow tidak mencampuri urusan Ukraina.
Berbicara di sebuah acara mengenai hubungan AS-Eropa di lembaga strategi Atlantic Council, Kerry memperingatkan “teritorial NATO tidak bisa diganggu-gugat,” menambahkan bahwa “kami akan mempertahankan tiap wilayahnya.”
“Kejadian di Ukraina adalah sebuah peringatan,” kata Kerry saat kekerasan baru terjadi di Ukraina timur pada Selasa, ketika ribuan demonstran pro-Rusia menyerbu gedung-gedung utama di kota Lugansk.
“Sekutu Eropa kami sudah menghabiskan lebih dari 20 tahun bekerja sama dengan kami untuk memasukkan Rusia ke dalam komunitas Euro-Atlantik. Kami bukannya tidak pernah berusaha keras mencoba menetapkan haluan baru pada era pasca-Perang Dingin,” katanya.
“Apa yang ditunjukkan aksi Rusia di Ukraina adalah bahwa Rusia yang dipimpin Putin hari ini menjalankan aturan yang berbeda,” kata diplomat tertinggi AS tersebut, merujuk pada Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Melalui pendudukannya di Crimea dan gangguan stabilitas di Ukraina timur, Rusia ingin mengubah lanskap keamanan di Eropa Timur dan Tengah,” tuduh Kerry.
“Jadi kami berada di momen menentukan bagi sekutu transatlantik kami – dan jangan ada yang salah paham – dan kami siap untuk melakukan apa yang perlu kami lakukan, serta untuk berjuang sekuat tenaga demi mempertahankan aliansi itu.” (AFP)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...