Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 15:30 WIB | Kamis, 01 Agustus 2024

Kelompok HAM: Kekerasan Seksual Merajalela di Tengah Perang Saudara Sudan

Tentara Sudan dari unit Pasukan Dukungan Cepat, yang dipimpin oleh Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, wakil kepala dewan militer, mengamankan area tempat Dagalo menghadiri rapat umum suku yang didukung militer, di provinsi East Nile, Sudan, pada 22 Juni 2019. Sebuah kelompok hak asasi manusia internasional pada hari Senin (29/7) menuduh kelompok paramiliter di Sudan yang dilanda perang melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, pemerkosaan berkelompok, dan pernikahan paksa dan pernikahan anak. Sejumlah kecil insiden juga dikaitkan dengan militer, katanya. (Foto: dok. AP/Hussein Malla)

KHARTOUM, SATUHARAPAN.COM-Sebuah kelompok hak asasi manusia internasional pada hari Senin (29/7) menuduh sebuah kelompok paramiliter di Sudan yang dilanda perang melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, pemerkosaan berkelompok, dan pernikahan paksa dan pernikahan anak. Sejumlah kecil insiden juga dikaitkan dengan militer, katanya.

Human Rights Watch menyerukan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan Uni Afrika untuk membentuk misi bersama guna melindungi warga sipil di Sudan karena pertempuran selama lebih dari 15 bulan antara militer dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

“Pasukan Dukungan Cepat telah memperkosa, memperkosa beramai-ramai, dan memaksa menikahkan banyak perempuan dan gadis di daerah permukiman di ibu kota Sudan,” kata Laetitia Bader, wakil direktur Afrika di Human Rights Watch.

Kelompok tersebut juga menuduh kedua pihak yang bertikai menghalangi akses korban ke perawatan darurat kritis, dan mengatakan militer telah “sengaja membatasi” pengiriman pasokan kemanusiaan ke daerah-daerah yang dikuasai RSF, termasuk pasokan medis dan pekerja bantuan sejak Oktober tahun lalu.

Sementara itu, RSF telah menjarah pasokan medis dan menduduki fasilitas medis, katanya. Pejuang RSF juga melakukan kekerasan seksual terhadap penyedia layanan, kata kelompok itu, mengutip responden lokal.

Sudan jatuh ke dalam kekacauan pada bulan April tahun lalu ketika ketegangan yang membara antara militer dan RSF meledak menjadi pertempuran terbuka di ibu kota, Khartoum, dan di tempat lain di negara itu. Pertempuran tersebut telah menewaskan lebih dari 14.000 orang dan melukai 33.000 lainnya, menurut PBB, tetapi aktivis hak asasi manusia mengatakan jumlah korban sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.

Konflik tersebut telah menciptakan krisis pengungsian terbesar di dunia, dengan lebih dari 11 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.

RSF yang sebelumnya berpihak pada militer tumbuh dari milisi Janjaweed yang dibentuk selama konflik di Darfur pada tahun 2000-an oleh mantan Presiden Omar al-Bashir, yang memerintah negara tersebut selama tiga dekade hingga ia digulingkan selama pemberontakan rakyat pada tahun 2019. Ia dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan genosida dan kejahatan lain yang dilakukan selama konflik tersebut.

Dalam sebuah laporan yang dirilis hari Minggu (28/7), Human Rights Watch mengatakan telah mendokumentasikan kekerasan seksual yang meluas, serta pernikahan paksa dan pernikahan anak selama konflik di Khartoum dan kota-kota terdekat Omdurman dan Bahri, atau Khartoum Utara. Ketiga kota tersebut dikenal sebagai Khartoum Raya.

Tindakan-tindakan ini merupakan "kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan," katanya.

Kelompok tersebut mengatakan sebagian besar kasus dikaitkan dengan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), tetapi beberapa juga disalahkan pada militer, terutama karena militer mempertahankan kendali atas Omdurman awal tahun ini. Dikatakan bahwa pria dan anak laki-laki juga telah diperkosa, termasuk di dalam tahanan.

Baik RSF maupun militer tidak segera menjawab permintaan komentar.

Human Rights Watch mengatakan tidak ada pihak yang telah mengambil langkah-langkah yang berarti untuk mencegah pasukannya melakukan pemerkosaan atau menyerang perawatan kesehatan, atau untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh pasukan mereka secara independen dan transparan.

Dikatakan, seorang juru bicara RSF membantah menduduki rumah sakit atau pusat medis di Khartoum dan kota-kota saudaranya, tetapi tidak memberikan bukti bahwa kelompok tersebut telah melakukan penyelidikan yang efektif terhadap tuduhan kekerasan seksual oleh pasukannya.

Mereka meminta Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk bersama-sama mengerahkan misi baru untuk melindungi warga sipil di Sudan, termasuk mencegah kekerasan seksual dan berbasis jender.

“PBB dan Uni Afrika perlu memobilisasi perlindungan ini dan negara-negara harus meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang sedang berlangsung, serangan terhadap responden lokal, fasilitas kesehatan, dan pemblokiran bantuan,” kata Bader.

Bentrokan dilaporkan terjadi selama akhir pekan di Sudan timur dan di kota al-Fasher, benteng terakhir militer di wilayah barat Darfur yang luas. RSF telah mengepung al-Fasher selama berbulan-bulan dalam upaya untuk merebut kendali.

Pakar internasional memperingatkan bulan lalu bahwa 755.000 orang menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan mendatang, dan bahwa 8,5 juta orang menghadapi kekurangan pangan yang ekstrem. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home