Keluarga Fiqri Adrianoor yang Terus Mencari Keadilan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dugaan malpraktik yang dilakukan oleh Rumah Sakit Kotabaru terhadap seorang bocah empat tahun Fiqri Adrianoor bin Hendra Suriansyah dengan semakin membesarnya benjolan di perut di bekas operasi, berujung pada upaya hukum pihak keluarga dalam mencari keadilan.
Awalnya Fiqri didiagnosis mengalami kondisi medis Ileus Obstruksi dan Invaginasi pada 22 Juni 2010 yaitu usus berlipat dan tersumbat karena makanan, dan harus dilakukan tindakan operasi pada tanggal 23 Juni 2010 setelah penandatanganan persetujuan keluarga untuk dilakukannya tindakan operasi.
Operasi dilakukan oleh dr. Jon Kenedy, Sp.B di RSUD Kotabaru pada saat Fiqri masih berumur 1 tahun. Sekitar 2 - 3 hari pasca operasi kondisi Fiqri mengalami kejang-kejang sampai koma, ironisnya Fiqri masih dibiarkan di ruang ICU dengan kondisi seadanya. Keluarga sudah menanyakan alasan kepada dokter yang bersangkutan namun jawaban hanya untuk menstabilkan kondisi pasca operasi.
Tidak puas dengan pengobatan seadanya, keluarga meminta rujukan ke rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap yaitu RSUD Ulin Banjarmasin namun dokter tidak mengijinkan. Pada hari berikutnya tanggal 26 Juni 2010 kondisi pasien semakin memburuk. Akhirnya keluarga membawa pasien ke RSUD Ulin Banjarmasin pada saat dokter yang bersangkutan pergi ke Australia.
Di RSUD Ulin Banjarmasin hanya dijawab dengan pasien diduga hernia dan harus dilakukan operasi. Keluargapun heran mengapa Rumah Sakit resmi pemerintah bisa menjawab dengan diduga.
Setelah keluar dari RSUD Ulin dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan pasca operasi muncul benjolan sebesar kacang. Keluarga masih terus berkonsultasi dengan dr. Jon Kenedy karena pada bekas operasi yang ditangani dokter tersebut muncul benjolan sebesar kacang. "Kalau perlu di operasi saja lagi," kata dr. Jon ketika diminta penjelasan oleh keluarga.
Benjolan sebesar kacang tersebut semakin hari terus membesar, sampai saat ini hampir sebesar kepalan tangan. Kondisi pasien pasca operasi semenjak tanggal 23 Juni tersebut lumpuh, dimana tangan dan kaki Fiqri tidak berfungsi. Sampai beberapa bulan lalu, keluarga memutuskan pasien menjalani terapi akupuntur yang membuat kondisinya lebih baik, tangan dan kakinya sudah bisa digerakan sedikit.
Adanya Pelanggaran Hukum
Pada awalnya Halim, paman Fiqri Adrianoor meminta bantuan kepada salah satu anggota DPRD Kalsel Ir. Burhanudin, lalu menyarankan melapor pada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan (salah satu pelayanan publik yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat-red), sebagaimana dikatakan Halim pada Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta, Kamis (11/7).
Pertemuan dalam rangka mediasi oleh Ombudsman RI dengan keluarga dilakukan pada Kamis 2 Mei 2013 bertempat di Hotel Grand Surya Kotabaru diawali dengan makan siang, dimana hal ini dirasakan ada kejanggalan oleh pihak keluarga karena proses mediasi masalah yang sudah menyangkut dugaan malpraktek dilakukan dengan tidak formal di atas meja makan (seperti layaknya urusan bisnis).
Lebih dari itu keputusan yang dibuat Ombudsman RI terkesan tidak berpihak pada korban dan tidak serius dalam menyelesaikan permasalahan. Salah satunya terlihat dari beberapa kesalahan dalam penulisan surat permohonan penjelasan medis dari pihak RSUD Kotabaru yang diminta keluarga pasien. Sampai diarahkannya penyelesaian pada Jaminan Kesehatan Provinsi (Jamkesprov) yang mengesankan seolah-olah dr. Jon Kenedy tidak melakukan apa-apa.
Menurut Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Komisioner KPAI yang mendampingi keluarga korban, dalam kasus ini pihak Rumah Sakit tersebut diduga telah melakukan kesalahan penanganan tindakan operasi, dan tidak ada penjelasan medis untuk keluarga, dimana hal ini merupakan pelanggaran terhadap kode etik kedokteran. Ombudsman juga telah melakukan wanprestasi terkait dengan dilanggarnya janji akan dipindahkannya Fiqri ke Rumah Sakit yang lebih lengkap peralatannya serta seluruh biaya ditanggung pihak Rumah Sakit.
Beberapa hari yang lalu Halim datang ke KPAI untuk meminta bantuan penyelesaian. KPAI sudah meminta bantuan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah Hukum Kabupaten Kotabaru, dan instansi terkait lainnya terutama pemerintah. Kami akan menunggu jawabannya dalam minggu-minggu ini, ujar ketua KPAI.
Editor : Yan Chrisna
Peretas Korut Curi Kripto Senilai 58 Miliar Won
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Korea Selatan mengkonfirmasi bahwa peretas Korea Utara (Korut) berada di ba...