Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 06:26 WIB | Senin, 19 Desember 2016

Kepemimpinan ala Pontius Pilatus

Pemimpin yang sesungguhnya bukanlah orang yang mencari kesepakatan, melainkan membentuk kesepakatan (Martin Luther King, Jr).
Pontius Pilatus cuci tangan (Passion of the Christ). (Foto: Istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Tidak mudah menjadi pemimpin. Pemimpin perlu punya visi agar bisa mengarahkan orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin di perusahaan harus punya visi ke mana perusahaan akan dibawa. Seorang pemimpin daerah harus punya visi tentang wajah daerah yang diinginkannya. Seorang pemimpin keluarga perlu memiliki visi tentang keluarga yang ingin dibangunnya.

Setelah memiliki visi, pemimpin perlu tekad, keberanian dan karakter tangguh untuk merealisasi visinya. Khususnya dalam keadaan sulit. Sebab justru dalam keadaan sulit itulah kemampuan seorang pemimpin diuji. Ayah di keluarga yang anaknya menjadi korban narkotika, tak bisa hanya menyalahkan ibu yang dianggap kurang cakap mendidik. Pemimpin daerah yang punya visi out of the box perlu keberanian untuk dikritik oleh lawan politiknya. Seorang hakim mungkin akan menghadapi ancaman ketika memutuskan perkara besar di mana ia memilih untuk bersikap benar ketimbang menuruti kemauan banyak orang.

”Harga dari nama besar adalah tanggung jawab.” ”Pemimpin melakukan hal yang benar, bukan semata-mata melakukan sesuatu dengan benar.”  ”Untuk masalah yang menyangkut gaya, tak apa mengikut arus. Tetapi untuk masalah prinsip, berdirilah tangguh seteguh batu karang.” ”Pemimpin adalah ia, yang tahu jalan yang harus dilalui, menapaki jalan itu, dan menunjukkannya kepada orang lain.” Demikianlah beberapa kutipan dari Winston Churchill, Peter Drucker, Thomas Jefferson, dan John Maxwell. 

Tanpa visi, tanggung jawab, keberanian untuk menjalani dan membela prinsip,  jangan harap pengakuan kepada pemimpin akan melekat. Ketika dalam keadaan sulit pemimpin mencari aman, mengikuti arus, maka kaburlah semua visi yang telah ditabur.

Pontius Pilatus mungkin menghadapi masa paling sulit dalam kepemimpinannya ketika ia harus mengambil keputusan untuk menghukum Yesus Kristus. Ia adalah gubernur atas daerah Judea yang diangkat oleh Kaisar Tiberius dari Roma. Pada masa pemerintahannya massa membawa Yesus orang Nazaret kepadanya untuk mendapatkan keputusan. Pilatus menyampaikan bahwa tak ada kesalahan yang bisa ditemukan pada diri terdakwa. Saat terdesak oleh massa yang menghendaki terdakwa dihukum, Pilatus ragu: memilih untuk melakukan hal yang benar, atau mengalah kepada keinginan orang banyak. Dan Pilatus mengambil jalan simbolis ”cuci tangan” sebagai isyarat kepada massa bahwa ia membebaskan diri dari keputusan apa pun yang akan diambil oleh massa. Sejarah mencatat, Yesus Orang Nazaret dihukum mati dengan disalibkan.

Apa yang terjadi atas Pilatus kemudian? Tak dapat ditemukan fakta yang pasti. Banyak versi. Kebanyakan negatif dan cenderung menceritakan pudarnya kharisma Pilatus setelah itu. Beberapa versi menceritakan bahwa ia dipanggil ke Roma untuk mempertanggungjawabkan keputusannya dalam membiarkan massa menghukum, bukannya mengambil keputusan selaku pemimpin.  Beberapa bahkan mengatakan bahwa ia mati bunuh diri beberapa tahun setelah kejadian itu. 

Sebagai pemimpin, Pilatus seharusnya memiliki visi paling jelas tentang apa yang seharusnya diputuskan. Ia seharusnya berdiri paling depan untuk menunjukkan kepada publik bahwa ”yang benar, itulah yang harus dilakukan”.  Rakyat banyak bisa saja salah.  Sekalipun kesatuan pendapat (konsensus) ditunjukkan orang banyak, pemimpinlah yang seyogianya membentuk opini mengenai kebenaran sesungguhnya yang harus paling ditinggikan. Kualitas kepemimpinan, lebih dari apa pun, adalah penentu keberhasilan atau kegagalan fungsi sebuah organisasi.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home