Kereta Perdamaian WCC: Pengalaman Nina Naiyoan
BUSAN, SATUHARAPAN.COM – Salah satu acara paling menarik menjelang Sidang Raya ke-10 Dewan Gereja se-Dunia (World Council of Churches / WCC) di Busan, Korsel, adalah perjalanan “kereta perdamaian” (peace train). Kereta itu berangkat dari Berlin, menyusuri Rusia, Mongolia, China, dan rencananya Korea Utara sebelum berakhir di Busan, bersamaan dengan pembukaan Sidang Raya WCC.
Perjalanan sepanjang 20 hari itu menjadi semacam “ziarah perdamaian”, untuk menggambarkan harapan Sidang Raya WCC kali ini: penyatuan kembali Korea Utara dan Selatan yang terpisah karena alasan ideologi sejak 1950-an. Namun sayang sekali, kereta perdamaian tahun ini tidak diizinkan mampir Pyongyang, Korut.
“Tentu saja kami kecewa,” kata Gilfilyani Krisna Naiyoan, satu-satunya peserta dari Indonesia di perjalanan kereta itu kepada Trisno S. Sutanto, wartawan satuharapan.com. “Dan saya melihat bagaimana emosi teman-teman Korea saat kami mendekati kota Dandong, kota perbatasan dengan Korut. Sangat menyentuh.”
Gadis berusia 37 tahun yang akrab dipanggil Nina itu baru bergabung dengan perjalanan kereta perdamaian di Beijing atas undangan NCCK (National Council of Churches in Korea), sebagai wakil WSCF (World Student Christian Federation) wilayah Asia Pasifik yang bermarkas di Hongkong. Selain Nina, juga ikut anggota WSCF dari Australia.
“Lumayan besar biayanya. Mula-mula 1.000 dolar AS (Rp 11 juta), kemudian didiskon jadi 600 (Rp 6,6 juta). Tapi, akhirnya kami dibantu penuh oleh NCCK, sehingga kami tidak bayar,” kata Nina sembari tertawa lebar.
Nina sendiri lulusan sekolah teologi di UKI Tomohon, sempat aktif di Pengurus Pusat GMKI (Gerakan Muda Kristen Indonesia) dan YMCA (Young Men’s Christian Association). Antara 2006–2009 ia mengikuti internship Timor Leste yang diadakan FIM (Frontier Internship in Mission) di Jenewa. Kini, sejak 2012, ia bekerja di WSCF di Hongkong sebagai koordinator program perempuan tingkat regional.
Bagi Nina dan para peserta kereta perdamaian, perjalanan itu sama sekali tak akan terlupakan seumur hidup. “Sungguh menyentuh saat kami mendekati perbatasan dengan Korut, dan perjalanan sepanjang sungai Yalu. Kami menjalaninya dengan perahu selama sejam, dan bisa melihat langsung daerah Korut,” tuturnya. “Jaraknya cuma sekitar 100 meter, tapi kami tak bisa masuk, hanya dapat melambaikan tangan. Saya melihat banyak peserta dari Korea menangis.”
“Mereka merasa, sebagai bagian dari keluarga, tetapi tidak dapat bertemu. Hanya bisa melambaikan tangan,” lanjutnya. “Apalagi tadinya ada peserta dari gereja di Korut. Mereka sudah sampai Beijing, namun otoritas pemerintahan Korut memulangkan mereka.”
Hidup di kereta bersama begitu banyak orang cukup membuat Nina mengalami kejutan budaya. Misalnya ketika harus tinggal bersama peserta dari Jerman dan lainnya di satu kompartemen. “Agak kikuk awalnya, karena di Indonesia kan tempat untuk lelaki dan perempuan dipisah. Tapi kami harus tinggal dan tidur di kompartemen yang sama lelaki maupun perempuan,” ujar Nina tertawa. “Ya sudah, harus bisa menyesuaikan diri.”
“Di situ kita belajar berinteraksi. Sepanjang malam kami berdiskusi, karena kebetulan teman dari Jerman itu dari EKD, semacam PGI di sana,” lanjutnya. “Akhirnya malah jadi pengalaman yang tidak akan terlupakan!”
Untuk Anda yang tidak punya kesempatan seperti Nina dan ingin merasakan bagaimana perjalanan peace train, bisa melihat rekaman video singkat perjalanan itu lewat tautan http://www.peacetrain2013.org ini. Konon, tahun depan peace train akan berjalan lagi, dan semoga kali ini dapat masuk ke Pyongyang!
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...