Kesepian
SATUHARAPAN.COM - Mungkin inilah penyakit paling akut orang modern: kesepian. Dan ini jugalah tragedi kehidupan modern: melakukan kesibukan tanpa pernah sadar dan tahu untuk apa sebenarnya semua kesibukan itu!
Tak sulit mencari bukti. Jalanan di Jakarta adalah teater kesepian dan usaha tragis orang modern yang berusaha lari dari kesepian itu dengan menyibukkan diri, sejak subuh hingga malam. Orang bergegas dari satu tempat ke tempat lain, berusaha menyibukkan diri. Lalu, jika ada sedikit jeda—entah sedang menunggu bus atau terjebak kemacetan—mereka masih berusaha menyibukkan diri dengan HP, SMS, Twitter, Blackberry, Facebook....
Tampaknya seluruh perangkat media sosial dan teknologi canggih itu diciptakan guna menyingkirkan rasa takut pada kesepian. Perangkat-perangkat itu membuat hidup dunia modern seakan-akan selalu tersambung, always connected kata iklan sebuah ponsel, kalau perlu 24 jam sehari. Tragisnya, justru tidak pernah kesepian itu begitu terasa menusuk selain di dunia yang always connected itu! Lucu, terkesan miris, menyaksikan sepasang kekasih duduk menanti makanan atau minuman yang mereka pesan di mal sembari sibuk dengan Blackberry mereka masing-masing.
Kesepian memang menakutkan. Namun, kesepian juga bisa menjadi momen anugerah bila orang tak lari darinya, melainkan bersahabat dengannya. Karena pada waktu itu terbuka kesempatan bagi seseorang untuk mendengar keluhan, tangisan, ratapan, kecemasan, maupun kegembiraan dirinya, lalu berwicara dan mengolah pengalaman sehari-hari yang dilaluinya. Dengan itu, orang sedang merawat jiwanya.
Sehingga kesepian (loneliness) yang menakutkan pun pelan-pelan berubah menjadi keheningan yang membebaskan (liberating silence). Pergulatan itulah yang disebut spiritualitas.
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...