Keteladanan Albert Schweitzer
Tiga hal utama: keteladanan, keteladanan, keteladanan.
SATUHARAPAN.COM – Andaikata Albert Schweitzer hidup pada abad ini, tentu gema gerakan kemanusiaannya yang luar biasa akan terdengar ke segala penjuru dunia dalam sekejap. Paling tidak, ia akan menjadi sama terkenalnya seperti Ibu Teresa yang hidup di abad ke 20.
Schweitzer, lahir pada 1875, adalah seorang anak yang terlahir jenius. Ia belajar dan menguasai musik dengan luar biasa. Namun, Albert kecil juga sangat peka akan kebutuhan orang lain di sekitarnya. Albert, pada usia 6 tahun, sangat tersentuh ketika pada hari pertamanya di sekolah ia melihat teman-teman di sekelilingnya dan ia menyadari betapa banyak orang yang tidak bernasib baik seperti dirinya dan keluarganya. Hari itu juga Albert berkeputusan untuk tidak akan pernah menggunakan pakaian yang lebih bagus daripada teman-temannya di sekolah. Naluri kemanusiaannya sudah berkembang sejak ia kecil.
Albert memulai karier musiknya sejak muda di Paris. Namun, tidak lama setelah itu, ia banting setir dan menuruti panggilan hatinya untuk melayani sesama dengan mengikuti jejak ayahnya sebagai teolog dan pendeta. Ia belajar teologi dan filosofi dan kemudian menjadi pengajar di Universitas Strasbourg.
Tetapi, pada usia 28 tahun, Albert meninggalkan profesinya sebagai dosen setelah ia membaca tulisan tentang kemiskinan yang melanda Kongo di pantai Barat Afrika. Ia ingin membantu masyarakat di sana, masyarakat yang sungguh-sungguh miskin, dan ia menyadari bahwa kesehatan adalah jalan terbaik untuk membantu secara langsung mereka yang berkebutuhan. Karena itu, sekali lagi ia banting setir dan belajar kedokteran. Setelah lulus, ia mengajukan permohonan untuk ditempatkan di Lambarene, di daerah yang kini menjadi negara Gabon.
Ia memulai dengan rumah sakitnya yang fenomenal: sebuah kandang ayam. Dalam sembilan bulan pertama, ia bersama isterinya telah mengobati lebih dari 2000 orang sakit. Ketika perang dunia pertama pecah, ia dikirim kembali ke Perancis dan menulis beberapa buku etika dan filsafat, yang antara lain mengantarnya untuk kelak memperoleh hadiah Nobel.
Setelah memungkinkan untuk kembali ke Afrika, ia menggalang dana dengan mengadakan konser di mana ia sendiri menjadi musisinya, dan dengan itu ia bisa membawa berbagai peralatan yang layak untuk pengobatan di rumah sakitnya di pedalaman Afrika itu.
Dengan berbagai kiprahnya, Albert kemudian berhasil menjadikan pelayanannya sebagai daya tarik para dermawan, dan dalam tahun-tahun berikutnya, sumbangan mengalir deras baginya. Pada 1952 Schweitzer menerima hadiah Nobel Perdamaian atas dedikasi kemanusiaannya yang luar biasa, dan inspirasinya bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Kesungguhannya melayani mereka yang membutuhkan bantuan, kerelaannya untuk ikut hidup menderita sekalipun ia bisa hidup nyaman di tanah kelahirannya, prinsip-prinsip dalam menjalani hidupnya yang ia tebarkan melalui tulisan dan media lain, telah memengaruhi jutaan orang hingga kini.
Albert Schweitzer wafat dalam usia 90 tahun, di tempat ia melayani di Gabon, Afrika. Si Jenius, pemusik ulung, filsuf andal, dokter paiwai, yang meninggalkan kehidupan nyamannya untuk mereka yang kurang beruntung. Sungguh, kasihnya telah mengubah segalanya. Keteladanannya akan hidup selamanya.
Simaklah beberapa dari segudang prinsip hidup Schweitzer yang menginspirasi:
- Keteladanan bukan saja hal terpenting dalam memengaruhi orang lain. Ia adalah satu-satunya yang terpenting.
- Sukses bukanlah kunci mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kunci menuju sukses. Jika kau mencintai apa yang kau lakukan, kau akan sukses.
- Lakukanlah sesuatu yang luar biasa. Orang akan menirumu.
- Saya tidak tahu nasibmu, namun yang saya tahu adalah bahwa yang akan sungguh berbahagia di antara kamu adalah ia yang mencari dan menemukan caranya melayani sesama.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...