Ketika BUMN Jadi ‘Sapi Perah’
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Isu penggantian menteri (reshuffle) di Kabinet Kerja akhir-akhir ini kian santer terdengar baik di masyarakat maupun di lingkungan anggota dewan (DPR). Salah satunya adalah seruan pencopotan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Desakan dari berbagai pihak untuk mencopot Rini dari jabatannya jelas bukan tanpa alasan. Misalnya, ketika Rini mulai meminta tambahan Penyertaan Modal Negara sebanyak Rp 40 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016 dua pekan lalu.
Hal itu diperparah dengan kinerja Rini yang tidak maksimal untuk meningkatkan pendapatan negara melalui 141 BUMN yang dipimpinnya. Hingga saat ini, pendapatan BUMN semester 1-2015 hanya berkisar Rp 807,4 triliun atau baru mencapai 37 persen dari total target pendapatan sepanjang tahun 2015.
Manajer Advokasi Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi, menilai tata kelola BUMN yang dipimpin oleh Rini sangat buruk dan dia ‘mencium’ adanya unsur politis dalam penunjukan elite di jajaran perusahaan-perusahaan BUMN.
“Tata kelola BUMN masih sangat buruk dengan aset yang besar dan kemudian peningkatan aset per tahun itu cukup besar mencapai Rp 500 triliun per tahun. Kalau kita lihat labanya dari data BEI belum dioptimalkan secara bagus (oleh BUMN),” kata Apung dalam konferensi pers "Mengukur Efektivitas PMN BUMN: Meningkatkan Produksi atau Sumber Sapi Perah" di Kedai Kopi Deli Jalan Sunda No 8 M.H Thamrin Jakarta Pusat, hari Selasa (10/11).
“Bagaimana tata kelola (BUMN) bukan hanya dari sisi person to person karena BUMN sekarang kan direkturnya, komisarisnya adalah beberapa elite politik yang dulu adalah dari timses (tim sukses) kampanye itu ya jadi hal umum. Saya pikir sapi perahannya ada. Realisasinya juga ada. Jadi itu rahasia umum.”
Menurutnya, tata kelola BUMN yang besar itu harus disederhanakan agar pengawasan dan keefektifan dari efisiensi kinerja BUMN dapat mendorong pendapatan negara dan perusahaan lainnya. Dengan tata kelola seperti saat ini, bukan tidak mungkin BUMN dijadikan ‘ruang’ untuk bagi-bagi kekuasaan.
“Kenapa kemudian (tata kelola) BUMN menjadi sangat besar? Karena di situ ada aktor direktur, komisaris, kemudian untuk mengakomodasi tim kampanye bisa saja BUMN menjadi ruang luas untuk mereka, karena tidak terakomodir di kabinet. Ya sudah disebar saja. Ratusan elite yang kemudian didrop di BUMN. Direksi atau komisaris. Ini yang jadi problem hambatan politik ketika BUMN harusnya dibikin sebuah grup yang itu besar,” kata dia.
Apung menyarankan kepada Presiden Joko Widodo jika ingin mengganti Rini, Jokowi harus memilih pengganti yang lepas dari ‘bau’ politik. Pengganti Rini Soemarno haruslah memiliki elektabilitas yang mumpuni, mempunyai peta ke mana BUMN akan dibawa.
“Gagasan dulu yang penting. Sistemnya dulu diperbaiki, kemudian baru kita bicara siapa yang harus menggantikannya untuk menjalankan misi itu,” kata dia.
Rakyat yang Dirugikan
Sekjen Seknas Fitra, Yenny Sucipto, menggambarkan total aset BUMN mencapai Rp 4.500 triliun, PMN juga cukup besar dengan total selama delapan bulan terakhir ini mencapai Rp 103 triliun. Ditambah lagi dengan laba yang ditahan sudah mencapai angka Rp 6.506 triliun bahkan ada permintaan devidennya dikurangi dari 21 persen menjadi 18 hingga 19 persen.
“Utang pajak kita 70 persen dengan aset deviden, kemudian dengan laba yang cukup besar ditahan itu harusnya memberikan ruang fiskal yang cukup besar juga dalam APBN. Sehingga dalam proses pembahasan APBN 2016 kemarin tidak diarahkan kepada utang yang cukup besar dengan adanya laba yang ditahan, dengan adanya (utang) pajak yang besar yang tidak tertagih di BUMN itu tidak memberikan kontribusi besar di APBN. Sehingga kita tidak ngos-ngosan membayar utang yang cukup besar di 3-5 tahun mendatang.”
Menurutnya, kalau Kementerian BUMN tidak memiliki perencanaan yang baik untuk mengelola BUMN, maka rakyat yang akan rugi. Karena di balik perencanaan APBN 2016 maupun APBNP 2016 ada ‘potensi’ bancakan untuk para elite yang ujungnya menambah utang lebih besar.
“Kenapa kita khawatir dengan pengelolaan BUMN dan kita khawatir dengan menteri yang nggak becus mengelola BUMN ini? Karena ini berbicara dengan instrumen kesejahteraan APBN, yaitu kesejahteraan rakyat, di mana Nawa Cita berbicara optimalisasi penerimaan negara salah satunya adalah dari BUMN. Kalau tidak ada roadmap atau planning jelas, yang tidak kita inginkan BUMN dijadikan sapi perahan.”
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...