Khalifah, Khilafah, atau Kafilah?
SATUHARAPAN.COM – Model manakah, dalam kebersamaan di Indonesia, yang patut dijalankan? Berpusat pada apakah? Khalifah merupakan model kepemimpinan terpusat. Seorang pemimpin negara sekaligus pemimpin agama, penerus keimanan dan kepemimpinan Nabi Muhammad S.A.W. Namun, khalifah muncul dalam masyarakat jahiliyah, yang liar secara akhlak dan sosial, masing-masing berlaku semau sendiri, menyembah berhalanya masing-masing.
Dalam kitab Perjanjian Lama, bangsa Israel pernah memiliki pemimpin semacam khalifah, yakni hakim. Tuhan membangkitkan seorang hakim untuk menjadi imam, panglima perang, pemimpin, termasuk pemutus perkara (Hak. 2). Karena besarnya kuasa yang dimiliki khalifah atau hakim, yang menjadi riskan ialah ketika kriteria penetapan khalifah berikutnya terdapat silang pendapat. Apakah harus memiliki hubungan darah atau merupakan keturunan khalifah sebelumnya? Apakah harus memiliki standar akhlak dan kompetensi tertentu, dan kalau benar, seperti apa?
Menilik sejarah, persoalan ini yang menjadikan model kepemimpinan kharismatik seperti khalifah kerap rawan perpecahan dan pemberontakan, lebih-lebih dalam masyarakat yang terpelajar, demokratis, dan modern. Kalau saja khalifah itu salah, seluruh tatanan pemerintahan bangsa itu bisa kacau. Apalagi kalau model khalifahnya seperti ISIS yang menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan agama.
Karena itu, daripada memusatkan pada khalifah, lebih baik memusatkan perhatian pada khilafah, umat yang kompak siap mengikuti kepemimpinan moral etis, apa pun latar belakang pemimpinnya. Tidak penting apakah pemimpinnya pedagang atau tukang kayu, apakah pemimpin wilayah atau pemimpin pasukan, atau apakah keturunan mantan pemimpin atau tidak. Namun, tekanannya ialah pada khilafahnya, pada gerakan rakyat aIias people power, yang siap berpartisipasi mendukung pemimpin yang baik dan bersih. Tampaknya, model kerakyatan macam begini lebih relevan untuk bangsa modern seperti Indonesia daripada khalifah.
Namun, model khilafah toh masih bercorak terpusat, yang dalam negara modern yang mengakui eksistensi berbagai agama, memiliki kesulitan tersendiri. Apakah seorang biksu harus membayar zakat kepada khalifah? Apakah seorang kyai harus menyebut ”Rama” kepada seorang pastor muda? Apakah seorang pemimpin muda patut mengimami shalat jamaah seorang kyai kharismatik yang jauh lebih senior? Lantas bagaimana memberi tempat kepada keyakinan yang orisinal, yang berdasarkan pengalaman rohani—apakah keyakinan itu harus dimusnahkan meski ia tidak menyerang keyakinan yang lain? Dapatkan khilafah mengawasi khalifah kalau ia tidak menjalankan ajaran Allah? Dalam masyarakat maju dan Pancasilais, bisa jadi model khilafah, sebagaimana model khalifah, tetap berpeluang mengondisikan terciptanya pemerintah yang otoriter yang kejam. Karena itu, mungkin lebih baik berpusat pada kehidupan bersama yang bercorak kafilah.
Kafilah ialah sekelompok pengelana dengan pengendara unta, biasanya memiliki tujuan tertentu, misalnya berdagang. Sekalipun terarah, apa yang dijumpai dalam perjalanan dapat memperkaya perjalanannya menuju tujuan. Sebaliknya jika dalam perjalanan ada yang mengganggu, maka sang kafilah tak perlu merasa terganggu. Ini sesuai pepatah: ”Anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Dalam kehidupan bersama, baik saat mengarungi pilleg, pilpres, pembangunan, penegakan hukum, dan pendidikan akhlak, betapa indahnya jika kebersamaan dihayati seperti kafilah. Kita terus secara positif bergerak maju, tanpa merasa terhalang untuk mencapai kebaikan bersama.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...