Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 17:33 WIB | Selasa, 07 Oktober 2014

KIARA: Jakarta Harus Bercermin Kegagalan Dam di Belanda

Ilustrasi Giant Sea Wall. (Foto: riset.me)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan ketidaksetujuannya terhadap proyek Giant Sea Wall (GSW). Pasalnya, megaproyek tersebut telah menuai keragu-raguan yang kuat dari banyak pihak mulai dari akademisi sampai masyarakat sipil, dengan menilik kegagalan proyek bendungan raksasa di Belanda ataupun di Korea Selatan (Korsel).

Untuk membuat bendungan raksasa di teluk Jakarta tersebut, bahkan belakangan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mulai tidak percaya diri untuk melanjutkan proyek bernilai Rp 250 triliun lebih tersebut.

Keraguan Basuki dapat dipahami setelah melihat langsung kegagalan proyek bendungan laut Semaguem di Korea Selatan, yang berdasarkan fakta, kota tersebut hanya dilalui oleh satu sungai saja, sehingga berakhir dengan kondisi bendungan yang tercemar.

Bercermin dari kegagalan tersebut, Giant Sea Wall jelas tidak sesuai dengan rencana pemerintah untuk menjadikannya, sebagai tempat penampungan bahan baku air minum, di samping sebagai penahan gelombang. Kondisi dimana Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai yang hulunya dari beberapa kota di sekitar Jakarta, maka akan semakin memperbesar kemungkinan pencemaran di Teluk Jakarta karena proses sedimentasi secara alami yang terganggu.

Pendekatan di Pesisir Bukanlah Solusi

Belakangan Basuki ingin menjadikan bendungan laut seperti di Rotterdam, Belanda sebagai referensi untuk memuluskan proyek yang diklaim bisa mencegah Jakarta terus-menerus menjadi langganan banjir.

Namun yang perlu menjadi pertimbangan, mencari solusi banjir dengan melakukan pendekatan “keras” di wilayah pesisir sudah tidak lagi menjadi tren, bahkan di Belanda sekalipun yang konon sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut.

Dalam sebuah tulisan berjudul “The Transition in Dutch Water Management” (van der Brugge, et al, 2005) menyebutkan bahwa pendekatan teknis dengan membangun konstruksi untuk melawan air seharusnya diimbangi dengan pendekatan kolaboratif antara aspek teknis, sosial serta ekologi.

Di Belanda pernah terjadi banjir bandang pada 1953 yang mengakibatkan kerugian besar khususnya kota Rotterdam. Tercatat kurang lebih 2000 orang meninggal dan 47.300 rumah hancur tersapu banjir.

Merespon bencana tersebut, seperti yang dijelaskan dalam buku, dibangunlah dam atau bendungan raksasa yang mengawal pesisir. Pada perkembangannya, banyak bangunan bersejarah dan ruang hijau di Belanda yang menjadi korban akhirnya membuat masyarakat melakukan protes (contohnya pada 1970 yaitu proyek Eastern Scheldt Dam di Kota Oosterschelde).

Sejak saat itu, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah mengedepankan konsep adaptasi daripada mitigasi. Misalnya melalui pembahasan bersama rencana menanggulangi banjir dengan berbagai pihak terkait seperti antar pemerintah, masyarakat, akademisi, pemilik tanah, pengusaha.

Kecenderungan mengadopsi teknologi dengan pendekatan kaca mata kuda dapat merusak keseimbangan alam, dan tentu akan merugikan kota Jakarta. Belanda yang berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis.

Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidak lah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya.

Rugikan Nelayan dan Ekosistem Laut

Proyek Giant Sea Wall ini potensial menggusur 16.855 nelayan di Jakarta baik yang menetap maupun pendatang. Sementara itu, persoalan banjir dan krisis air akan semakin menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga Jakarta. Maka sesungguhnya pemerintah telah melakukan tindakan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi.

Berdasarkan tinjauan secara ilmiah, bendungan tentu akan memperlambat debit air yang mengakibatkan pendangkalan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Akibatnya, biaya yang besar  juga diperlukan untuk normalisasi sungai-sungai tersebut. Belum lagi kemunduran garis pantai yang diakibatkan proses sedimentasi yang berkurang seiring rusaknya hutan mangrove (bakau) sebagai perangkap alami sedimen dari daratan maupun lautan.

Sebagaimana dijelaskan dalam prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio tahun 1992 yang juga menjadi landasan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dipertimbanngkan. Dalam prinsip tersebut dinyatakan bahwa, “Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation.

Prinsip tersebut muncul jika terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan, pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut. 

Intinya, jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan. Maka, izin kegiatan tersebut tidak boleh dikeluarkan. 

Untuk itu, Pemerintah sudah seharusnya menghentikan rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Langkah yang lebih tepat yaitu pemerintah segera menjalankan pembangunan kota Jakarta secara partisipatif yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dan menyelamatkan Jakarta dari bencana ekologis berupa banjir, krisis air dan lain-lain. (PR)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home