Komite Migas Cecar Pertamina Soal Petral
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komite Reformasi Tata Kelola Migas menanyakan perusahaan sebenarnya yang memasok minyak mentah dan BBM ke unit usaha PT Pertamina (Persero), Pertamina Energy Trading Limited atau Petral.
"Apakah pemasok ke Petral itu murni NOC (national oil company) atau trader yang pasok ke NOC," kata Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri saat jumpa pers usai pertemuan dengan manajemen Petral dan Pertamina di Jakarta, Rabu.
Hadir pula dalam pertemuan itu Menteri ESDM Sudirman Said, Dirut Petral Bambang Irianto, dan Direktur Pengolahan Pertamina Rahmad Hardadi.
Bambang Irianto usai pertemuan menolak memberikan keterangan.
"Tanya ke Pak Faisal (Ketua Komite Migas) saja. Kami sudah berikan semua yang diminta," ujarnya.
Menurut Faisal, pasokan minyak mentah dari NOC ke Petral ternyata sebagian berasal dari trader. Dengan demikian, rantai pasokannya menjadi dari trader ke NOC baru kemudian ke Petral.
"Tidak semua NOC memang punya stok. Dia (NOC) beli dari trader juga. Kami minta datanya berapa NOC yang betul-betul ke Petral dan berapa lewat trader," ujarnya.
Ia menambahkan, pada prinsipnya, berdagang dengan siapapun tidak masalah, asalkan punya barangnya.
"Kalau Petral dipaksa harus dengan NOC saja, tapi faktanya tidak begitu, `kan` jadi repot. Jadi, kita ingin aturan yang tidak menimbulkan celah," ujarnya.
Petral, diakuinya, juga tidak bisa menghambat kalau NOC sebagai pemenang lelang, membeli lagi dari trader.
Sesuai aturan yang diterbitkan Menteri BUMN pada 2012, Pertamina memang diharuskan membeli minyak dan BBM dari NOC.
Anggota Komite Agung Wicaksono menambahkan, pihaknya ingin mengetahui pemilik sebenarnya perusahaan yang memenangkan lelang pasokan ke Petral.
"Petral hanya tahu dua tingkatan. Kami ingin tahu lebih dalam lagi, siapa di ujungnya," ujarnya.
Juru Bicara Pertamina Ali Mundakir mengatakan, sebelumnya Petral memang boleh membeli dari trader. Namun sejak 2012, tidak boleh lagi melalui trader.
"Tadi disampaikan apakah kebijakan ini masih relevan atau direkomendasikan lain. Tentunya, mana yang terbaik bagi Indonesia," katanya.
Sedangkan, Wakil Ketua Komite Migas Naryanto Wagimin mengatakan opsi rekomendasi untuk Petral adalah dibubarkan atau dipindah ke Jakarta.
Faisal menambahkan dalam pertemuan tersebut, pihaknya mendapat informasi yang cukup untuk perbaikan tata kelola migas.
"Namun, kami belum puas. Nanti ada pertemuan lagi. Saat ini, belum ada kesimpulan apa-apa," katanya.
Anggota Komite Darmawan Prasodjo menambahkan biaya hilir Pertamina mencapai 63,6 miliar dolar AS per tahun. Dari jumlah itu, 57 miliar dolar di antaranya pengadaan minyak mentah dan produk.
"Kalau saja ada optimalisasi 2,5 persen, maka EBITDA Pertamina naik jadi 1,5 miliar dolar AS atau senilai Rp20 triliun per tahun," katanya.
Ditambah lagi, lanjutnya, kalau dilakukan modernisasi kilang, maka didapat efisiensi sebesar dua persen atau sekitar Rp10 triliun per tahun.
Agung juga mengatakan biaya impor premium Pertamina mencapai 13 miliar dolar AS per tahun atau setara membangun kilang berkapasitas 300.000 barel per hari.
"Bagaimana caranya ini dialihkan ke kilang untuk ketahanan pasokan BBM," katanya.
Menurut Ali, pihaknya tengah melakukan modernisasi kilang yang akan menekan biaya pengolahan BBM.
"Selama ini, biaya minyak mentah mencakup 93 persen biaya produksi BBM. Kalau `refinery development master plan` berjalan, maka kilang Pertamina bisa mengolah minyak dengan kandungan sulfur lebih tinggi atau `sour` dan `heavy crude` yang harganya lebih murah. Kalau dari bahan baku ini bisa ditekan, maka tentunya biaya pengadaan BBM bisa efisien," katanya.(Ant)
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...