Komnas HAM: Hukuman Kebiri Kimia Sifatnya Temporer
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga, mengatakan, bahwa hukuman kebiri secara kimiawi itu sifatnya temporer alias sementara.
Sebab kata Sandrayati hukuman secara kimia yang diberikan untuk menurunkan hormon testosteron pada pelaku. Sehingga, ketika efek kimia itu hilang, maka hormon testoteron itu kembali lagi.
"Siapa jamin setelah dia keluar penjara dan obat kimia itu hilang, dia tidak berbuat kejahatan lagi, Kalau di dalam penjara kan justru aman, dia pasti tidak akan berbuat jahat. Tapi setelah keluar penjara itu siapa yang bisa memonitor, itu yang sulit dari sisi teknis," kata Sandrayati Moniaga di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, No 48, Menteng, Jakarta, Pusat, hari Senin (15/2).
Selain itu, kata Sandrayati, dalam setiap tindakan medis, semua orang berhak mengetahui dampak dari tindakan medis itu. Di samping juga yang bersangkutan harus juga menyetujui tindakan medis yang diberikan itu.
"Putusan pengadilan itu bisa tidak jadi rujukan untuk tindakan medis itu. Dokter umumnya tidak akan mau melakukan tindakan medis yang berasal dari putusan hukuman. Lagi pula dokter juga terikat kode etik bahwa dia tidak bisa sembarangan mengambil tindakan medis," kata dia.
Selain itu, kata Sandrayati dalam draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri bagi kejahatan seksual terhadap anak, disebutkan hukuman itu merupakan hukuman tambahan selain hukuman pidana.
"Dalam draf, hukuman kebiri ini hukuman tambahan selain hukuman penjara," kata dia
Sementara itu Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila, mengatakan, bahwa Komnas HAM hari selasa (15/2) ini baru menerima draf Perppu terkait pengebirian.
“Kami baru menerima draf Perppu hari ini, jadi setelah lama berproses banyak pihak yang meminta draf ini,” kata Siti.
Menurut Siti di dalam draf Perppu kebiri yang dimaksud adalah hukuman kebiri kimia. Jadi hubungan kebiri kimia itu adalah satu proses yang biasanya pemberian bahan kimia yang bisa mengurangi hormon testosteron.
“Dalam hal ini butuh tindakan medis, setiap orang punya hak untuk mengetahui dampak dari tindakan medis yang dilakukan padanya dan menyetujui untuk ada tindakan itu apa tidak. Yang jadi pertanyaan apakah penetapan di pengadilan otomatis bisa dilakukan kepada pasien kalau pasien tidak memberikan persetujuan, dokter juga punya kode etik yang bisa melakukan kebiri baik secara operasi maupun kimia,” kata dia.
“Hanya dokter diikat kode etik bahwa setiap yang mereka lakukan harus berdasar persetujuan pasien. Dan ini akhirnya hanya putar memutar dan tidak bisa dilaksanakan apapun. Belum ada data juga bahwa penghukuman kebiri dapat mengurangi (kejahatan seksual). Kalau ditanya pasal apa, jelas pasal tentang kebiri, pasal 81 butir 4 dan 82 butir 3. Perppu pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002,” dia menambahkan.
Editor : Bayu Probo
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...