Komnas Perempuan Dukung Perempuan dalam Pemilukada Serentak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai konsultasi, pengaduan, maupun temuan di daerah, mendapati bahwa realitas di lapangan, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan mendapati tekanan, ancaman, ataupun teror yang berbeda dengan calon laki-laki. Hal ini membuat Komnas Perempuan pada hari Selasa (8/12) menyerukan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dalam proses pemilukada dan penjaminan hak politik perempuan untuk memilih dan dipilih.
Menurut Komnas Perempuan, terhambatnya akses politik perempuan karena adanya budaya politik maskulin, yang sering kali meminggirkan perempuan.
Perempuan yang dapat mencalonkan dalam pemilu-pemilukada harus menghadapi tantangan berlapis. Perempuan yang diperhitungkan oleh partai maupun konstituen adalah mereka yang memiliki hubungan genealogis dengan tokoh berpengaruh, memiliki kapital ekonomi yang besar, memiliki popularitas, dan memiliki estetika fisik yang kerap dipolitisasi. Calon-calon pemimpin perempuan yang potensial, tetapi tidak punya modalitas di atas, kerap tidak bisa mendapatkan hak politiknya untuk dipilih.
Menurut sumber data KPU 2015, secara legal, hak politik perempuan lebih terbuka, terutama pasca-amandemen UUD NRI keempat dan disahkannya UU Politik terkait tindakan khusus sementara kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga politik. Namun, dalam realitasnya perempuan yang mencalonkan sebagai kepala daerah yakni 123 orang (7,48 persen) yang terdiri atas calon kepala daerah perempuan 57 orang (6,93 persen) dan calon wakil kepala daerah 66 orang (8,03 persen). Sementara jumlah laki-laki sebanyak 1.521 orang (92,52 persen). Jumlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang laki-laki dan perempuan sebanyak 1,644.
Sejak 31 tahun yang lalu, Indonesia telah mengesahkan ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui UU No 7 Tahun 1984. Dalam Pasal 7 tegas dinyatakan bahwa dilarang terjadi tindakan diskriminasi terhadap perempuan di lembaga politik atau publik, dan perlunya langkah-langkah khusus untuk menghapus diskriminasi tersebut. Hal ini tercantum dalam UUD NRI Pasal 28 H ayat 2.
Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks pemilu atau pemilukada adalah dijadikannya perempuan sebagai gratifikasi seksual untuk lobi politik atau menjatuhkan lawan. Aksesibilitas perempuan yang rentan diskriminasi juga terbatas untuk dapat memilih, seperti perempuan dengan disabilitas, pekerja rumah tangga (PRT), buruh migran yang tidak selalu dapat akses bermobilitas, perempuan di kepulauan, perempuan lansia, dan lain-lain.
Selain itu, penghambatan hak politik bagi kelompok agama, keyakinan, dan etnik dengan politisasi agama dan syiar kebencian, hanya karena berbeda pilihan politik, dan lain-lain.
Komnas Perempuan mengajak kepada masyarakat luas untuk memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki pakta integritas antikekerasan terhadap perempuan, bukan pelaku kekerasan atau pernah terlibat dalam kekerasan, baik di publik dan di ranah domestik, pluralis dan demokratis, berkomitmen pada keragaman dan kebinekaan, tidak terindikasi korupsi dan berkomitmen pada pemberantasan korupsi, termasuk tidak melakukan money politics, memiliki keberpihakan, dan komitmen pada isu-isu perempuan.
Komnas Perempuan juga menganjurkan masyarakat pemilih memprioritaskan untuk memilih calon perempuan yang memiliki kriteria di atas, melaporkan pelanggaran, kekerasan, dan diskriminasi terhadap kandidat perempuan, mengimbau media untuk membuat pemberitaaan yang kondusif untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemilukada, dan memberitakan pelanggaran-pelanggaran HAM perempuan, baik viktimisasi pada calon perempuan, termasuk aksesibilitas kelompok rentan diskriminasi untuk dapat memilih dan dipilih.
Untuk itu, Komnas Perempuan menyampaikan sikap dan rekomendasi sebagai berikut:
1. Negara harus menjamin hak politik perempuan untuk memilih dan dipilih dengan mencegah tindakan syiar kebencian, diskriminasi berbasis gender, etnis, maupun politisasi yang ditujukan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan.
2. Bawaslu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan kejahatan dalam proses pemilukada dengan tidak memperhatikan kepentingan demokrasi dan keadilan dan memicu kekerasan.
3. KPU sebagai badan penyelenggara pemilu hendaknya memastikan proses pemilu yang adil gender, terakses bagi kelompok-kelompok disabilitas, masyarakat adat, PRT, masyarakat di kepulauan, perempuan lansia, dan lain-lain. (komnasperempuan.or.id)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...