Komnas Perempuan Minta Pemerintah Timbang Hukuman Kebiri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa pewacanaan pemerintah ke publik terkait untuk mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai hukuman kebiri untuk mencegah kekerasan seksual, sebaiknya ditinjau ulang, seperti ditulis dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, Selasa (19/1). Komnas Perempuan memiliki sejumlah temuan yang diharapkan menjadi pertimbangan.
Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual bukan hanya perkosaaan.
Komnas Perempuan telah menemukan setidaknya 15 bentuk kekerasan seksual, dimana perkosaan hanyalah salah satunya. Menghukum kasus perkosaan, potensial mengecilkan keluasan bentuk dan intervensi pada kekerasan seksual lainnya.
Kekerasan seksual tidak selalu terjadi karena dorongan seksual.
Komnas Perempuan selama 17 tahun memantau kekerasan seksual di publik dan domestik, personal maupun komunal, telah menemukan bahwa kekerasan seksual justru disebabkan oleh relasi kuasa sebagai ekspresi penaklukan, inferioritas, teror, dan kontrol yang berhubungan dengan dorongan psikis daripada desakan genital.
Dari data Komnas Perempuan, 70 persen pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat dan terjadi di ranah domestik-personal. Data 10 tahun jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (kompilasi dari catatan tahunan dari tahun 2004-2014) terdapat 1.293.730 kasus. Hukuman kebiri semakin menutup peluang diadukannya pelaku yang merupakan anggota keluarga sendiri dan semakin memupuk impunitas kekerasan seksual di ranah domestik.
Pelaku kekerasan seksual juga terdapat anak-anak.
Temuan Komnas Perempuan atas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Relasi Personal (RP), termasuk didalamnya kekerasan dalam pacaran, maka pada catatan tahunan tahun 2015, terdapat 736 pelaku anak yang berusia 13-18 tahun dalam ranah KDRT atau RP.
Komnas Perempuan menilai perkawinan anak adalah sumber kekerasan seksual pada anak yang difasilitasi negara melalui pembiaran usia perkawinan 16 Tahun. Perkawinan anak juga sebuah bentuk fasilitasi negara atas praktik pedophilia (kelainan seseorang dengan ketertarikan pada anak di bawah umur) melalui institusi perkawinan. Artinya, pelaku kekerasan seksual adalah suami-suami yang menikahi anak-anak.
Hukuman Kebiri (Sterilisasi Paksa) di Indonesia
Komnas Perempuan memandang hukuman kebiri atau sterilisasi paksa adalah salah satu kejahatan seksual yang masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan. Negara dapat dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan dengan kebijakan hukuman ini, terutama Indonesia yang sudah melakukan ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan sudah diundangkan. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus menghentikan tindak dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan.
Hukuman kebiri mencabut hak seksual manusia sebagai hak dasar untuk melakukan aktivitas reproduksi. Selain itu, negara yang seharusnya melindungi disabilitas, melalui kebijakan dan implementasi hukuman kebiri, justru menyuburkan disabilitas warga negaranya, dalam bentuk disabilitas seksual. Hukuman kebiri akan merusak integritas konstitusi, karena membuka peluang bentuk-bentuk penghukuman yang mengamputasi dan membuat disfungsi organ manusia.
Argumentasi Penolakan Komnas Perempuan Atas Rencana Perpu Hukuman Kebiri
Komnas Perempuan merekomendasikan kepada pemerintah bahwa di dalam peraturannya harus meninjau ulang hukuman kebiri dan membuat mekanisme penjeraan yang lebih edukatif dan rehabilitatif. Pemerintah harus melibatkan lembaga-lembaga HAM dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut isu HAM, termasuk Komnas Perempuan dengan kekuatan temuan-temuannya, membuat kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak, sepenting dan segenting kekerasan seksual pada perempuan, mengoptimalisasikan penghukuman dengan pemberatan dan konsistensi penegakan hukum sebagai salah satu solusi, membuat Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas di Prolegnas untuk membuat kebijakan komprehensif pencegahan, penanggulangan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual, dan Indonesia harus menunjukkan kepemimpinan dalam mengawal isu HAM di Asean dan internasional.
Dalam satu tahun ini, Indonesia harus siapkan diri untuk di-review komite Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) dan Universal Periodic Review di PBB.
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...