Komnas Perempuan Ungkap Fakta Mary Jane
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Untuk menindaklanjuti laporan dari mitra di Yogyakarta, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia (Komnas Perempuan) melakukan pemantauan langsung terhadap kasus terpidana mati kasus narkoba dari Filipina Mary Jane Veloso selama empat hari secara intensif, untuk mengungkap fakta-fakta yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
Komnas Perempuan bertemu dengan Mary Jane Veloso di Lapas Wirogunan, Yogyakarta, selama 3 hari dan menemui orang-orang kunci yang mengetahui kasus tersebut secara detail. Dari pertemuan tersebut, Komnas Perempuan mendapati sejumlah temuan yang mengindikasikan bahwa Mary Jane adalah korban sindikat perdagangan manusia.
Dalam surat pernyataan sikap Komnas Perempuan yang diunggah ke laman resmi komnasperempuan.or.id, dikatakan bahwa Mary Jane adalah korban pemiskinan. Mata pencaharian utama keluara Mary Jane adalah pengumpul dan penjual barang bekas. Perempuan Filipina ini hanya mampu mengenyam pendidikan hingga kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Ia juga merupakan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menikah muda saat usia 16 tahun. Keadaan ini memaksanya untuk mengambil alih peran kepala keluarga dengan menimnya pengetahuan dan pendidikan akibat pemiskinan dan pernikahan anak.
Komnas Perempuan juga menemukan bahwa Mary Jane pernah trauma akibat kekerasan seksual di Dubai sehingga ia harus dirawat di rumah sakit selama 1 bulan. Setiap melihat laki-laki berwajah India, traumanya muncul. Untuk itulah, ia lebih memilih berangkat ke Indonesia daripada menunggu calon majikan yang kabarnya masih berada di luar negeri.
Kemudian Mary Jane direkrut oleh Maria Kristina P. Sergio, tetangga suaminya, untuk bekerja di Malaysia sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dengan visa turis namun tanpa dokumen kerja yang resmi. Mary Jane membayar biaya keberangkatan dengan menyerahkan sepeda motor dan telepon genggam senilai 700 Peso atau sekitar 205 ribu Rupiah pada Kristina. Ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai PRT di Malaysia dan kekurangan biaya akan dibayar dengan pemotongan 3 bulan gaji saat bekerja.
Mary Jane direkrut bekerja di Malaysia, kemudian ia diminta oleh perekrutnya untuk ke Indonesia dengan janji akan segera dipekerjakan setelah kembali sepulang dari Indonesia. Namun ternyata, ia malah dijadikan kurir narkoba.
Adapun caranya diberi tas untuk menyimpan pakaian dan peralatan pribadinya. Tetapi, tanpa sepengetahuannya telah dimasukkan heroin seberat 2,6 kilogram. Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia untuk tujuan perdagangan narkotika internasional, bukan gembong narkotika.
Selama proses peradilan, ibu tunggal dari dua anak ini tidak didampingi ahli bahasa atau penerjemah sehingga tidak memahami Berita Acara Pemeriksaan dan proses persidangan atas kasusnya sendiri.
Akibatnya, fokus persidangan hanyalah proses menghukum Mary Jane atas kasus kejahatan psikotropika. Fakta bahwa Mary Jane adalah korban perdagangan manusia dan ditipu dalam proses ketenagakerjaan tidak dapat menjadi fakta sehingga pertimbangan hukum hakim tidak sesuai dengan kebenaran materiil.
Apalagi, penasihat hukum yang disediakan pada tingkat pengadilan tingkat pertama hanya menemuinya saat persidangan berlangsug sehingga tidak memberikan bantuan hukum yang komprehensif.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa peradilan di Indonesia dalam proses penyidikan, penangan, penuntutan, dan penghukuman belum menggunakan kerangka Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1984.
Komnas Perempuan menilai bahwa peradilan demikian tidak hanya merugikan Mary Jane, namun juga merugikan Pemerintah Indonesia dan Dunia Internasional yang sedang memerangi perdagangan narkotika Internasional.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Pengadilan Swedia Hukum Politisi Sayap Kanan Karena Menghina...
MALMO-SWEDIA, SATUHARAPAN.COM-Pengadilan Swedia menjatuhkan hukuman pada hari Selasa (5/11) kepada s...