Konflik Sudan Selatan: Rakyat dalam Ancaman Kelaparan
JUBA, SATUHARAPAN.COM â Konflik bersenjata yang terus terjadi di Sudan Selatan mengancam rakyat negara itu dalam bencana kelaparan. Demikian peringatan lembaga pangan PBB berkaitan dengan kondisi di negara termuda itu yang merdeka pada 2011 setelah memisahkan diri dari Sudan.
Sekitar 355.000 orang meninggalkan rumah mereka sejak konflik meletus bulan lalu antara pasukan Presiden Salva Kiir dan pengikut mantan wakil presiden Riek Machar. Kekacauan dan konflik bersenjata menyebar di negeri itu.
Konflik itu mengacaukan sektor pertanian yang memasuki masa panen dan persiapan menanam yang bisa menyebabkan kerawanan pangan dan kekurangan gizi. Demikian dikatakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), hari Senin (13/1).
"Waktu adalah segalanya," kata wakil FAO di negara itu, Sue Lautze, di Juba, ibu kota Sudan Selatan. "Sekarang ada ikan di sungai, penggembala juga mencoba melindungi ternak mereka dan musim tanam jagung, kacang tanah dan sorgum akan dimulai pada bulan Maret."
Misi PBB di Sudan Selatan (UNMISS) mengatakan bahwa mereka memperoleh akses ke daerah-daerah yang terkepung dan mencacat jumlah orang yang meninggal akibat konflik jauh lebih tinggi dari perkiraan 1.000 orang yang disebut sebelumnya.
Rencana FAO dan mitranya adalah mendapatkan bantuanUS$ 61 juta untuk mendapatkan bibit, vaksin ternak, alat tangkap dan peralatan pertanian untuk keluarga di pedesaan, agar produksi pangan tidak terganggu.
"Sangat penting untuk mengembalikan stabilitas keamanan di Sudan Selatan segera mungkin, sehingga pengungsi kembali ke rumah mereka, dan mengelola ladang, ternak dan lahan perikanan," kata Lautze.
Sudan Selatan merupakan negara kaya minyak, namun rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Sebelum konflik belakangan itu sekitar 4,4 juta orang dari total sekitar 11 juta pendudukan diperkirakan menghadapi kerawanan pangan. Tahun 2014 kondisinya bisa lebih parah. Direktur Divisi Darurat dan Rehabilitasi FAO, Dominique, mengatakan di markas badan itu di Roma, "Dari antara mereka, 830.000 menghadapi kerawanan pangan akut."
Konflik juga mempengaruhi rute pasokan utama, menggusur pedagang dan menyebabkan kenaikan harga pangan dan bahan bakar. "Sudan Selatan juga menghadapi tantangan penyakit ternak," kata Lautze. "Di beberapa daerah, hewan muda mati pada tingkat 40-50 persen,â kata dia.
Sementara itu, sekitar 60 persen wilayah Sudan Selatan tidak dapat diakses melalui jalan darat selama musim hujan. Konflik membuat beberapa daerah sulit atau tidak mungkin ddijangkau tanpa transportasi udara.
Sementara itu, UNMISS masih melindungi hampir 60.000 warga sipil pada 10 pangkalan di seluruh negeri itu. Dan dilaporkan bahwa sekarang pasukan anti-pemerintah mengendalikan kota Bor di negara bagian Jonglei dan melancarkan tembakan sporadis di dekat markas PBB di sana.
Sedangkan di wilayah Bentiu di utara, hampir 9.000 warga sipil berlindung pada 570 pasukan penjaga perdamaian PBB. (un.org)
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...