Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 07:04 WIB | Jumat, 13 September 2013

Konsep Dasar UU Ormas Keliru

Koordinator KKB Fransisca Fitri. (Foto Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) mengidentifikasi sejumlah pasal serta mendiagnosa norma yang terkandung dan kehendak dari penyusun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat atau yang dikenal dengan Undang-Undang (UU) Ormas. Hasil identifikasi itu bukan sekadar menunjukkan batang tubuh atau pasal-pasal yang keliru. Tetapi, identifikasi itu juga menemukan bukti tentang konsep dasar pengaturan UU Ormas itu. Meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah melakukan perbaikan terhadap materi Undang-Undang Ormas, tetapi itu tetap bersifat tambal sulam. Perubahan yang muncul berdiri di atas kerangka berpikir yang keliru.

Setidaknya terdapat tujuh temuan dari proses identifikasi itu. Koordinator KKB, Fransisca Fitri, menyebutkan tujuh temuan itu dalam siaran pers di Jakarta Rabu (11/9).

Pertama, adanya norma yang tidak jelas batasan dan ruang lingkupnya seperti yang termuat dalam Pasal 1 angka 1. Ini diformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat.

Kedua, pasal-pasal yang tidak perlu ada untuk melegalkan keberadaan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi.

Ketiga, pasal-pasal yang saling tumpang tindih dan menimbulkan konflik norma. Undang-Undang Ormas menempatkan yayasan dan perkumpulan dalam satu kelompok pengertian sehingga timbul kerancuan. Sementara ada Undang-Undang Yayasan dengan Peraturan Presiden mengatur obyek yang sama seperti halnya Undang-Undang Ormas.

Keempat, termuat pasal-pasal yang tidak jelas konstruksi normanya. Pasal 16 adalah salah satu contoh ketentuan yang tidak bisa diketahui secara pasti kategori normanya. Pasal 16 mengatur materi pendaftaran ormas, tapi apakah pendaftaran ormas menjadi sebuah perintah atau kewajiban atau bersifat pilihan tidak bisa ditelusuri dari teks pengaturan.

Kelima, termuat norma yang multitafsir. Ada sejumlah larangan atas tindakan ormas yang berkategori multitafsir sehingga berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa, seperti yang termuat di pasal 59.

Keenam, termuat pasal-pasal yang tidak perlu ada di level undang-undang. Setidaknya ada delapan pasal yang sebenarnya tidak perlu ada di level undang-undang tanpa menghilangkan esensi tujuan perumusan norma. Delapan pasal tersebut sudah dinaungi konstitusi.

Ketujuh, norma yang tidak konsisten. Dari Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) dalam UU Ormas diketahui bahwa ormas yang berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum. Dengan demikian, ketika suatu ormas sudah memperoleh status badan hukum (yayasan atau perkumpulan), maka ormas tersebut tidak memerlukan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).

Namun, keberadaan Pasal 15 ayat (2) melalui frasa pendaftaran ormas berbadan hukum justru membuat bias makna Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3). Dari Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) dapat ditafsirkan ketika syarat pengesahan badan hukum terpenuhi maka saat itu juga diperoleh status terdaftar.

Jadi, Pasal 15 ayat (2) tidak perlu ada atau frasa pendaftaran ormas berbadan hukum diganti dengan frasa tata cara mendapatkan pengesahan status badan hukum. Ini yang seharusnya diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Yayasan atau nantinya Undang-Undang Perkumpulan. Alasannya, status terdaftar bagi ormas berbadan hukum bukan diperoleh dengan menempuh prosedur pendaftaran tetapi pengesahan status badan hukum.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home