Kontroversi Fatwa MUI mengenai BPJS Ancam Stabilitas Sosial
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah diminta segera bertindak tegas menyikapi kontroversi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertolak belakang dengan pendapat Nahdlatul Ulama terkait dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pemerintah dinilai harus bertindak mengingat dampak-dampaknya terhadap kredibilitas pemerintah, kemaslahatan publik , dan keamanan bangsa dan negara.
Hal itu dikatakan oleh pengamat sosial, M.A.S Hikam, dalam sebuah artikelnya yang dilansir oleh The Hikam Forum hari ini, Sabtu (1/8).
Menurut dia, akan sangat naif dan bahkan terkesan tidak bertanggungjawab apabila pemerintah mencoba bersembunyi dari kenyataan dan mengulur waktu serta membiarkan potensi kegaduhan menjadi kenyataan.
"Bukan saja pemerintah akan bertambah kerjanya, tetapi ini bisa 'out of control' dan mengancam stabilitas sosial dan politik. Sebab baik fatwa MUI maupun PBNU tidak hanya punya implikasi legal formal bagi umat Islam, tetapi juga politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta keamanan nasional," tulis dia.
Kontroversi berawal dari fatwa 'haram' terhadap program BPJS Kesehatan oleh Majelis Ulama Indonesia. MUI menyatakan bahwa BPJS tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. Fatwa itu semakin membingungkan publik ketika PBNU, melalui forum Bahtsul Masail (BM) atau telaah permasalahan yang digelar di Krapyak, DIY, menyatakan bahwa BPJS sesuai Syariah.
Menurut mantan Menristek di era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu, bagi publik yang awam, termasuk umat Islam di dalamnya, kedua fatwa yang bertolak belakang tersebut akan membuat kebingungan, kegaduhan, dan sumber konflik. "Karena baik MUI maupun PBNU keduanya punya klaim kebenaran (truth claim) atas fatwa mereka yang didasari oleh kaidah dan prosedur serta argumentasi keilmuan hukum Islam (Fiqh) dan otoritas kepakaran (Ulama).
Hikam menilai, publik yang ingin mendapat kepastian soal halal dan haramnya BPJS ujung-ujungnya akan menengok pada Pemerintah mau pilih yang mana. "....menurut hemat saya, pemerintah perlu segera bertindak tegas menyikapi kontroversi fatwa tersebut," kata dia.
"Negara, dalam sistem demokrasi yang efektif, harus melakukan tindakan intervensi untuk mencegah potensi kekacauan. Negara harus memilih, apalagi dalam konstitusi jelas dinyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Di sini berarti suatu tindakan preventif unutk pencegahan atas kemungkinan terjadinya kisruh, termasuk gara-gara fatwa yang berbeda, bisa dilakukan."
Hikam meminta agar Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan memanggil para produsen fatwa tersebut dan mengingatkan implikasi kiprah mereka dalam konteks kehidupan kenegaraan sesuai konstitusi.
"Presiden Joko Widodo juga perlu menegaskan bahwa BPJS adalah kebijakan nasional yang berlandaskan hukum nasional serta dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Bahwa ada berbagai hal yang belum sempurna atau terlaksana di lapangan tentu harus diperbaiki. Tetapi tak berarti lalu BPJS diperhadapkan dengan penilaian yang di luar aturan hukum nasional, apalagi jika ternyata penilaian itu masih kontroversial," tulis Hikam.
Menurut dia, pemerintah sebagai pemilik otoritas yang diberikan negara tak bisa dan tidak boleh tinggal diam, apalagi ragu. Sebab sikap ragu-ragu hanya kian membuka lebih luas kontroversi karena akan dibaca sebagai ketidakberanian menghadapi perang urat syaraf atau tekanan-tekanan politik.
"Jika cara-cara penekanan seperti ini berhasil, maka ke depan kita akan terus menerus menyaksikan hal yang sama dengan mengatasnamakan demokrasi, HAM, dll," kata dia.
Kesamaan Persepsi Guru dan Orangtua dapat Cegah Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Co-founder Sehat Jiwa Nur Ihsanti Amalia mengatakan, kesamaan persepsi an...