Korupsi dan Salah Kelola Kehutanan Timbulkan Masalah Serius HAM dan Lingkungan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Korupsi di pemerintahan dan salah kelola sektor kehutanan telah mewabah di Indonesia. Akibat yang paling serius adalah pada pelanggaran hak asasi manusia dan masalah lingkungan hidup. Demikian laporan Human Right Whatch (HRW), hari Selasa (16/7).
Bencana asap yang terjadi di Indonesia dan merambah hingga negara tetangga merupakan sebagian dari dampak strategi 'pertumbuhan hijau' yang dilakukan dengan membuka hutan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri bubur kertas.
Dalam laporan setebal 61 halaman, berjudul "The Dark Side Green Growth” (Sisis Gelap Pertumbuhan Hijau), HRW menyoroti pemerintah yang lemah di sektor kehutanan menimbulkan dampak pada hak asasi manusia. Disebutkan bahwa pembalakan liar dan salah kelola pada sektor kehutanan mengakibatkan kerugian negara lebih dari US$ 7 milyar (setara dengan Rp 69 triliun) dalam kurun 2007 dan 2011.
Gembar-gembor yang dilakukan adalah tentang kebijakan kehutanan sebagai model berkelanjutan dengan pertumbuhan hijau (green growth). Tetapi penebangan kayu di Indonesia terus terjadi dan tidak tercatat, biaya rendah yang artifisial, dan aturan moratorium penebangan hutan serta kebijakan "zero burning" tidak berjalan dengan memadai.
"Kasus kabut asap bukti paling nyata dari kerusakan akibat kegagalan Indonesia dalam mengelola hutan," kata Joe Saunders, Wakil Direktur Program pada Human Rights Watch. Dia mengaskan, lemahnya penegakan hukum, salah kelola, dan korupsi adalah penyebabnya. Hal itu bukan hanya untuk kasus asap, tetapi juga untuk kerugian triliunan rupiah per tahun dana publik yang sangat dibutuhkan.
Pemerintah Indonesia memperkenalkan reformasi yang bertujuan mengatasi ketidakberesan pengelolaan hutan dan korupsi. Hal itu dilakukan dengan sistem sertifikasi legalitas kayu dan kebebasan hukum informasi, tetapi upaya tersebut jauh dari tujuannya.
Laporan HRW menunjukkan adanya praktik "uang siluman," yang membuat laju kehilangan pendapatan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2011 saja, kerugian mencapai lebih dari US$ 2 miliar. Hal ini merusak kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dasar untuk penduduknya, kata Human Rights Watch.
Masyarakat di sekitar hutan adalah kelompok termiskin, dan telah dirugikan dalam sistem selama ini. Meningkatnya permintaan lahan untuk memperluas perkebunan menimbulkan konflik agraria yang keras, terutama di Sumatera.
Pemerintah dinilai gagal mematuhi peraturannya sendiri, yang terlihat dengan mengeluarkan konsesi di lahan hutan yang diklaim oleh masyarakat. Sebagai contoh, pada tahun 2011, eskalasi sengketa tanah terkait dengan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Mesuji Sumatera Selatan menyebabkan bentrokan antara penduduk lokal dan keamanan perusahaan. Akibatnya, dua petani dan tujuh staf perusahaan tewas.
Pada bulan Mei, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa praktik pemerintah mengalokasikan konsesi atas tanah adat adalah inkonstitusional. Namun, iklim pengelolaan saat ini suram, tata kelola hutan tidak akuntabel, tanpa partisipasi masyarakat dan pengawasan yang memadai.
Human Rights Watch juga mengkritisi penggunaan aparat militer dalam sengketa agrarian yang dinilainya sebagai kemunduran. Demikian juga dengan peraturan tentang keterbukaan informasi publik, tetapi intimidasi terhadap aktivis lokal terus terjadi, bahkan di antara mereka ada yang dipidanakan.
Lembaga ini juga menyoroti penggunaan hukum pencemaran nama baik yang digunakan untuk mempidanakan pihak yang mengkritisi pejabat pemerintah dalam menjalankan keputusan. Hal ini juga dikaitkan dengan menggunakan hukum berkaitan dengan penyalahgunaan informasi publik. Upaya pemerintah untuk menekan independensi lembaga non pemerintah (NGO / LSM) juga dilakukan dengan disetujuinya UU Ormas berkaitan dengan arturan memperoleh dana asing.
Menurut HRW, tanpa tindakan yang fokus untuk memperkuat reformasi, pengawasan, dan penegakan hukum, situasi di sektor kehutanan cenderung memburuk. Indonesia adalah produsen terbesar minyak sawit dunia, dan pemain utama industri pulp dan kertas. Namun hal ini bergantung pada pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab dan perlindungan hak asasi manusia.
“Pemerintah Indonesia telah menjual sektor kehutanan sebagai contoh pembangunan berkelanjutan dengan 'pertumbuhan hijau' untuk mengatasi perubahan iklim dan kemiskinan. Namun bukti menunjukkan sebaliknya," kata Saunders.
"Dana yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan publik justru tersedot untuk memperkaya segelintir orang atau hilang sia-sia karena salah kelola. Kasus asap menunjukkan kehidupan dan warga pedesaan adalah korban, bukan penerima manfaat, dari kebijakan kehutanan selama ini,” katanya.
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...