KPAI: Politik Jangan Susupi Ujian Nasional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan agar Ujian Nasional yang merupakan ranah pendidikan tidak dikotori dengan urusan politik.
“Ranah pendidikan jangan disusupi oleh kepentingan politik. Ujian Nasional adalah instrumen akademik, sehingga menjadi bermasalah jika ditunggangi kepentingan politik,” kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Jakarta, Senin (14/4).
Menurut Niam, setelah menelaah soal Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan sederajat, KPAI menemukan ada indikasi susupan politik di dalam soal Bahasa Indonesia, yakni masuknya nama calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi), meski di dalam soal itu disebutkan sebagai Gubernur DKI.
“KPAI menilai adanya dugaan politisasi UN melalui soal Bahasa Indonesia yang berisi cerita tentang Jokowi, yang isinya terdapat framing dan cenderung penggiringan opini,” katanya.
Untuk itu, KPAI meminta Mendikbud sebagai penanggung jawab pendidikan nasional segera melakukan investigasi lebih lanjut terkait dengan munculnya soal cerita bernuansa politik itu.
“Siapa pembuatnya, atas motivasi apa, dan dengan `gentle` bertanggung jawab. Pelakunya jelas tidak punya etika. Harus ada sanksi tegas agar kejadian serupa tidak terus terulang,” katanya.
Ia mengatakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tidak boleh lepas tangan.
Menurut Niam, KPAI sudah melakukan komunikasi dengan Kepala Dinas Pendidikan DKI, namun yang bersangkutan mengaku belum mengetahui kasus itu.
“Kami juga sudah mengontak Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat (PIH) Kemdikbud untuk meminta adanya investigasi,” kata Niam.
Di dalam soal itu diceritakan Jokowi sebagai sosok jujur dan pekerja keras yang dikenal dengan gaya blusukannya, berprestasi, bersih dari korupsi, dan memiliki kepedulian kepada buruh.
Selanjutnya, ditanyakan apa keteladanan Jokowi di dalam soal cerita itu, dan telah tersedia jawaban dalam bentuk pilihan ganda.
PGRI: Jangan Dipersepsikan Politis
Pakar pendidikan yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi menilai penyebutan Joko Widodo dalam salah satu soal Ujian Nasional (UN) 2014 jangan dipersepsikan secara politis.
“Pembuatan soal UN itu dilakukan secara bertahap. Ada mekanismenya, tidak bisa sembarangan,” katanya di Semarang, Senin, menanggapi penyebutan Jokowi dalam salah satu soal UN untuk Bahasa Indonesia.
Ia tidak memungkiri ada pihak yang kemudian menyangka penyebutan Jokowi dalam soal UN itu berkaitan dengan unsur politis, tetapi perlu diingat bahwa soal-soal UN itu sudah dibuat sejak lama.
Pembuatan soal UN, kata Sekretaris Umum PGRI Jawa Tengah itu, pasti sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum Joko Widodo resmi dijagokan sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan, yakni 14 Maret 2014.
“Ketika itu, Jokowi kan belum jadi capres, tetapi Gubernur DKI Jakarta. Itu alasan pertama yang membuat saya tidak menyangka munculnya soal itu (Jokowi, red.) secara politis,” katanya.
Alasan kedua, kata dia, soal-soal UN dibuat oleh pemerintah, sementara Jokowi bukan berasal dari partai politik pemerintah sehingga tidak ada alasan soal semacam itu dibuat dengan maksud politis.
“Kalau kenapa soal itu bisa lolos? Ya, tanyakan itu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, dari dua alasan yang saya sebutkan tadi, saya tidak mencurigai adanya kepentingan politis,” katanya.
Semasa menjadi Wali Kota Solo, kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia mengakui Jokowi sebagai sosok yang dikenal merakyat melalui kebijakan-kebijakannya sehingga wajar jika dikaitkan keteladanannya.
“Ya, memang ketika itu ketokohan Jokowi kan memang menjadi perbincangan. Saya melihat wajar jika kemudian tim penyusun soal UN menyebutkan Jokowi dalam salah satu soal yang diujikan,” kata Muhdi.
Di sisi lain, ia mengakui Jokowi memang diuntungkan dengan sosoknya yang disebut dalam soal UN, apalagi peserta UN SMA merupakan kalangan pelajar yang sebagian besar sudah memiliki hak pilih.
“Wajar kalau ada pihak yang mengaitkannya dengan kepentingan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 mendatang. Namun, saya sendiri tidak mencurigai ada muatan politis dalam soal itu,” katanya.
Sebelumnya diwartakan, Jokowi disebut dalam salah satu soal UN SMA Bahasa Indonesia untuk jurusan IPS, berupa pilihan ganda diawali bacaan tentang sosok Jokowi, kemudian pertanyaan keteladanan yang bisa diambil.
Perkenalkan Pemilih Pemula
Pengamat politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin, mengatakan Gubernur DKI Joko Widodo menjadi salah satu materi Ujian Nasional Bahasa Indonesia merupakan upaya memperkenalkan sosok Jokowi kepada pemilih pemula terkait dengan pilpres.
“Ini kan seperti pesan-pesan politik, UN ini kan untuk kelas III to, kelas III itu adalah pemilih pemula, jadi ini seperti ada upaya untuk memperkenalkan sosok Jokowi kepada pemilih pemula yang akan menjadi pemilih di pilpres nanti,” ujar Said Salahudin saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Menurut dia, ada dugaan akan bisa dibaca seperti itu, bisa saja bahwa soal tersebut dimuat karena waktunya yang bersamaan dengan proses pencapresan dari Jokowi.
“Saya baca dari materi muatan soalnya itu memang seperti memberikan gambaran sosok Jokowi secara berlebihan,” kata dia.
Oleh karena itu, katanya, hal tersebut harus ditelusuri siapa yang mengusulkan soal itu dan apa motifnya, mengapa kemudian muncul soal semacam itu yang waktunya bersamaan dengan proses pencapresan dari Jokowi.
“Ujian nasional untuk Bahasa Indonesia sesungguhnya itu harus murni soal-soal yang terkait dengan persoalan akademis dan tidak boleh disusupi oleh kepentingan-kepentingan atau pesan-pesan politik,” kata dia.
Menurut dia, kalau sudah persoalan dunia pendidikan dirasuki atau disusupi oleh kepentingan-kepentingan politik, tentu sesuatu yang tidak baik.
“Sehingga harus ada penjelasan dari Kemdikbud dan terutama soal-soal ini, apa motifnya dan siapa yang mengusulkan dan itu kan disusun oleh tim penyusun soal itu kan,” ujar dia.
Ia mengatakan salah satu materi soal UN Bahasa Indonesia itu sebetulnya pandangan subjektif. Jokowi gemar blusukan itu pandangan subjektif yang bisa saja ada siswa yang punya pandangan berbeda.
“Itu kan pandangan subjektif, ini kan soal itu kan tentang sosok dari figur Jokowi yang belum tentu dipahami oleh semua masyarakat mungkin ada benar yang mengatakan Jokowi seperti di soal itu, tapi kan juga boleh jadi tidak semua orang berpendapat yang sama. Tapi kan tidak disediakan jawabannya di situ, itu kan jawaban-jawaban yang baik-baik saja,” kata dia.
Oleh karena itu, katanya, indikasi-indikasi seperti tersebut ada upaya yang menyusupi kepentingan politik lewat dunia pendidikan, padahal dunia pendidikan harus steril dari kepentingan politik karena waktunya yang bersamaan ini.
“Itu kan soal ujian nasional, Jokowi itu kan Gubernur DKI, orang Aceh, Papua, apakah dia paham soal itu. Kan belum tentu kenal Jokowi. Kok seolah-olah menciptakan citra itu, kesan itu dibentuk,” ujar dia.
Ia menyatakan prihatin terhadap para siswa, terkait dengan persoalan tersebut
“Kasihan anak-anak pelajar ini, karena mereka masih perlu informasi yang lebih luas dan lengkap tentang tokoh dan pemimpin lainnya. Jadi jangan dicekoki seperti itu,” kata dia.
Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diujikan, Senin, ditemukan soal yang ada nama Joko Widodo.
Atas temuan tersebut, Mendikbud M Nuh mengatakan pihaknya membutuhkan waktu terlebih dahulu untuk mengecek hal tersebut. (Ant)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...