KPK Cegah Istri Akil ke Luar Negeri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah istri Ketua Komisi Konstitusi Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar, Ratu Rita dan supirnya Daryono keluar negeri.
"Info dari kami, pihak imigrasi. Ada cegah baru dari KPK, pertama atas nama Ratu Rita Akil dan kedua, Daryono," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Denny Indrayana melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Kamis (10/10).
Ratu Rita Akil adalah istri Akil Mochtar. Ia lahir di Putussibau, 4 Juli 1964 dengan pekerjaan ibu rumah tangga. Ia dicegah berdasarkan Skep KPK No. KEP-709/01/10/2013.
Sedangkan Daryono adalah sopir Akil Mochtar, lahir di Sanggau, 7 Oktober 1983 yang juga dicegah berdasarkan Skep KPK No. KEP-709/01/10/2013.
"Pencegahan untuk tanggal 9 Oktober 2013 untuk penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait penanganan perkara sengketa pilkada di MK dengan tersangka M. Akil Mochtar," tambah Denny.
Dengan pencegahan ini, maka KPK sudah mencegah lima orang, yaitu Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sejak 3 Oktober dan pasangan calon bupati Lebak Amir Hamzah dan Kasmin bin Saelan sejak 7 Oktober 2013.
Pada Rabu (9/10), pengacara Akil, Tamsil Sjoekoer mengakui bahwa perusahaan CV Ratu Samagad dimiliki oleh istri Akil didirikan pada 2010 dan bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, dan ikan arwana.
"Yang dijelaskan kepada saya itu yang saya jelaskan merupakan penjelasan dari Ibu Akil, Pak Akil tidak ada dalam susunan perusahaan, direkturnya itu," kata Tamsil pada Rabu.
Sedangkan peran Daryono dalam kasus ini adalah nama Daryono digunakan untuk salah satu mobil Akil yang disita yaitu Mercy S 350.
Dua mobil Akil yang juga disita adalah mobil Audi Q5, dan Toyota Crown Athlete.
Hingga saat ini keberadaan Daryono belum diketahui karena ia tidak menghadiri panggilan penyidik KPK maupun panggilan Majelis Kehormatan Konstitusi yang mengusut, Kalteng dan Lebak, Banten bersama dengan sejumlah tersangka lain.
Tersangka dugaan penerimaan suap dalam perkara pilkada kabupaten Gunung Mas adalah anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar Chairunnisa, sedangkan pemberi adalah Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dan Cornelis Nalau dari pihak swasta.
KPK menyita uang senilai 284.050 dolar Singapura dan 22.000 dolar AS dengan total uang sekitar Rp 3 miliar.
Sedangkan dalam kasus sengketa Pilkada Lebak, Akil Mochtar dan Susi Tur Handayani menjadi tersangka sebagai penerima suap, sementara Tubagus Chaeri Wardhana dan kawan-kawan selaku pemberi suap.
KPK menyita uang senilai Rp1 miliar dalam lembaran Rp100 ribu dan Rp50 ribu yang dimasukkan ke dalam tas travel berwarna biru di rumah orangtua Susi.
ICW: Rampas Harta Koruptor Supaya Jera
Di tempat lain, Ketua Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengusulkan hukuman perampasan harta koruptor oleh negara supaya menimbulkan efek jera.
"Koruptor itu lebih takut miskin daripada hukuman hanya lima tahun sampai sepuluh tahun. Kalau hukumannya hanya segitu, dia bisa masih menyuap dengan harta hasil korupsi," kata Emerson Yuntho dihubungi di Jakarta, Kamis.
Emerson mengatakan untuk memberikan efek jera kepada koruptor, seluruh harta hasil korupsi dan yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak jelas harus dirampas oleh negara.
Karena itu, dalam menjerat seorang koruptor selain menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juga perlu menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Biasanya untuk menghilangkan jejak perbuatannya seorang koruptor melakukan pencucian uang," ujarnya.
Selain perampasan hasil korupsi dan yang tidak jelas lainnya milik terpidana korupsi, Emerson mengatakan semua harta hasil korupsi yang sudah diberikan kepada keluarga dan kroni-kroninya juga harus dirampas oleh negara.
"Itu untuk mencegah keluarga atau kroninya mencoba menyuap penegak hukum dengan harta hasil korupsi," ucapnya.
Selain itu, untuk mencegah seorang koruptor mengulangi perbuatannya, Emerson juga mengusulkan agar hukuman ditambah lagi dengan pencabutan hak untuk menjadi pegawai negeri sipil dan hak politik untuk dipilih sebagai anggota legislatif, kepala daerah maupun presiden.
"Dengan begitu, yang bersangkutan tidak mendapat kesempatan untuk korupsi lagi," pungkasnya. (Antara)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...