KPK Cegah Sembilan Orang Terkait Kasus e-KTP
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap sembilan orang terkait kasus tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP elektronik (E-KTP) tahun anggaran 2011-2012.
"Pertama pada 28 September 2016 sampai 28 Maret 2017 terhadap dua tersangka Irman dan Sugiharto serta tiga saksi, yaitu Isnu Edhi Wijaya, Anang Sugiana, dan Andi Agustinus," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Isnu Edhi Wijaya diketahui sebagai Ketua Konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI), Anang Sugiana sebagai Direktur Utama PT Quadra Solution, dan Andi Agustinus selaku penyedia barang/jasa pada Kemendagri.
Selanjutnya, Febri mengatakan pada 17 Oktober 2016 sampai 17 April 2017 KPK juga mencegah ke luar negeri untuk dua saksi, yakni Yosep Sumartono pensiunan PNS Dukcapil Kemendagri dan Widyaningsih.
Kemudian, kata Febri, pada 11 Januari sampai Juni 2017 juga dilakukan pencegahan untuk dua saksi lainnya, yaitu Vidi Gunawan sebagai wiraswasta dan Dedi Prijono pelaku home industry Jasa Elektroplating.
Terkait persidangan KTP-E, KPK dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang lanjutan pada Kamis (16/3) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa sebutkan namanya," kata Febri.
Febri mengatakan dari koordinasi yang sudah dilakukan KPK bahwa pemeriksaan saksi-saksi akan dilakukan dalam 90 hari kerja ke depan.
"Jadi, 90 hari kerja ke depan mulai dari pembacaan dakwaan, kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan," tuturnya.
Menurut Febri, KPK akan mendalami beberapa fakta-fakta yang memang sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang kami harap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.
Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek KTP-E tersebut.
Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh oleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran KTP-E pada 2010 dengan anggaran Rp 5,9 triliun yang proses pembahasannya.
Sementara itu, kesepakatan pembagian anggarannya, pertama yakni 51 persen atau sejumlah Rp 2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek.
Kedua, Rp 2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp 365,4 miliar.
Lalu, Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp 261 miliar, Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574,2 miliar.
Selanjutnya Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp 574,2 miliar serta keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp 783 miliar.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...