KPK Dalami Surat Keberatan Pajak BCA dari Dirut Jahja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami soal pengajuan keberatan pajak PT Bank Central Asia dari Direktur Utama PT BCA Jahja Setiatmadja dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk, tahun pajak 1999.
"Ya, ditanya-tanya soal (pengajuan) keberatan pajak BCA," kata Jahja seusai diperiksa sekitar 11 jam di Gedung KPK Jakarta, Jumat (22/5). Pemeriksaan Jahja adalah pemeriksaan pertama kalinya terhadap Dirut BCA itu, untuk tersangka mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo.
"Ya, intinya kita sesuai ketentuan yang berlaku," kata Jahja singkat.
Namun, ia mengaku tidak kenal Hadi Poernomo secara pribadi. "Tidak, tidak (kenal)," jawab Jahja singkat, sambil masuk ke mobilnya, Toyota Vellfire B 1475 SKS.
KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus tersebut pada 21 April 2014, ketika Hadi masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak 2002-2004.
Hadi, saat ini, sedang menjalani sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK, berikut tindakan penyidikan, penggeledahan, dan penyitaan oleh lembaga penegak hukum itu.
Pada 21 April 2014, KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk tahun pajak 1999.
KPK menemukan kesamaan modus yang dilakukan Hadi Poernomo, yaitu menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak saat menjabat sebagai Dirjen Pajak, dengan tindakan mantan Deputi Gubernur BI bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya, yang melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai Deputi Gubernur BI di balik kebijakan perbankan.
Hadi sebagai Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak 2002-2004 diduga menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak, yaitu mengubah telaah Direktur PPH mengenai keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk tahun pajak 1999.
Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait Non Performance Loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPH Ditjen Pajak.
Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPH pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, yaitu pada 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak, memerintahkan agar Direktur PPH mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima seluruh keberatan.
Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima seluruh keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu.
Atas penerimaan keberatan itu, keuangan negara dirugikan senilai Rp 375 miliar, bahkan potensi kerugian negara dapat mencapai Rp1 triliun sehingga sudah dapat dikategorikan memenuhi unsur pidana yang disangkakan.
KPK menyangkakan Hadi Poernomo berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang penyalahgunaan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant)
Editor : Sotyati
Israel Pada Prinsipnya Setuju Gencatan Senjata dengan Hizbul...
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Siaran media Kan melaporkan bahwa Israel pada prinsipnya telah menyetujui...