KPU Didesak Masukkan Materi HAM dalam Debat Capres
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - KPU telah mengabaikan nilai-nilai hak azasi warga negara pada penyelenggaraan pemilihan presiden 2014-2019 dengan tidak memasukan materi Hak Azasi Manusia (HAM) dalam debat capres dan cawapres yang akan diselenggarakan pada tanggal 8 Juni 2014 – 5 Juli 2014, demikian disampaikan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan elemen komunitas korban pelanggaran HAM, di kantor KPU Jakarta, Kamis (5/6).
Sejumlah lembaga komunitas korban pelanggaran HAM yang ikut mendukung langkah KontraS ini antara lain adalah Koalisi Melawan Lupa, Koalisi Bersih 2014, Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban Untuk Keadilan (JSKK), Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Sobat KBB), dan Paguyuban Petani Tanah Pangonan Bogor (Bani Tansagor). Kontras pada kesempatan ini menyampaikan desakan dan namun tidak ditemui oleh komisioner KPU, sebelumnya diawali aksi damai di depan kantor KPU.
Melalui pernyataan pers yang diterima satuharapan.com, KontraS dan komunitas korban menilai KPU telah gagal memahami HAM sebagai suatu yang mendasar dan penting untuk ditanyakan dan/atau dimintakan pandangannya kepada Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam sebuah pemerintahan yang akan dipimpinnya nanti, sebab Hak Asasi Manusia dalam mandat konstitusionalnya diwajibkan untuk dijalankan oleh pemerintah. Hal ini juga mengingat, dalam politik internasional, Indonesia sebagai anggota PBB dan Dewan HAM PBB memiliki kewajiban untuk meningkatkan standar perlindungan HAM di negara Indonesia.
Beberapa hal yang menjadi dasar desakan yang dilakukan oleh KontraS bersama korban pelanggaran HAM, agar dalam debat calon presiden isu HAM menjadi materi penting diantaranya:
Pertama: Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih tersendat di Kejaksaan Agung; diantaranya kasus pembunuhan massal 1965-1966, kasus Tanjung Priok 1984, kasus Penembakan Misterius 1981-1983, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Trisakti dan Semanggi I dan II, kasus Kerusuhan Mei 1998, kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998.
Kedua: Perlindungan hukum dan jaminan keamanan kaum minoritas dan kelompok rentan, yang mencakup buruknya perlindungan kelompok agama dan kepercayaan minoritas di Indonesia, dimana dalam 3 tahun terakhir semakin meluas. Penyerangan Jemaah Ahmadiyah, Syiah dan penutupan gereja, serta terjadinya diskriminasi dan kekerasan pada komunitas masyarakat adat.
Ketiga: Pelanggaran terhadap hak-hak fundamental atas tindakan penyiksaan, penyalahgunaan kewenangan, kriminalisasi dan beragam tindakan lainnya yang dilakukan oleh aparat negara, khususnya TNI, Polri, dan petugas Sipir Penjara yang dinilai bertentangan dengan Ratifikasi Kovenan Internasional untuk hak Sipil dan Politik melalui UU No 11 Tahun 2005 dan ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No 5 Tahun 1998.
Keempat: Adanya peraturan perundangan yang bertentangan dengan standar dan semangat dari HAM dan demokrasi, yakni adalah UU Intelijen, UU Organisasi Kemasyarakatan, RUU Keamanan Nasional, UU Terorisme, dan UU Penanggulangan Konflik Sosial yang tidak selaras dengan regulasi dan peraturan nasional dengan standar HAM internasional namun juga mengancam kebebasan hak sipil dan politik masyarakat sebagaimana dijamin dan diatur dalam UUD 1945.
Kelima: Pelanggaran HAM dibidang hak atas tanah dan masyarakat Adat, makin sedikitnya akses dan kepemilikan dari masyarakat terhadap tanah (adat) untuk dijadikan pijakan hidup; bercocok tanam, mendapatkan penghasilan dan menjaga kelestarian lingkungan dan kebijaksanaan adat.
Masalah Papua: Papua saat ini terajadi beragam pelanggaran HAM tanpa ada akuntabilitas hukum yang memadai. Pembunuhan, penembakan misterius, penyiksaan, penangkapan aktivis dan pembatasan kebebasan berekspresi masih menjadi isu utama di Papua, selain itu, pelanggaran ham berbasis eksplorasi sumber daya alam juga turut memperburuk kondisi Papua.
Masalah Aceh: Pasca konflik dan penandatanganan perdamaian tahun 2005, kondisi penegakan hukum dan akuntabilitas HAM tidak kunjung membaik di Aceh. Pengadilan HAM ad hoc dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh, sebagai bagian dari perjanjian damai, masih menunggu realisasi. Para korban dan keluarga korban masih diabaikan hak-hak mereka, perhatian pemerintah dan pemerintah daerah, tidak pernah nyata memberi solusi untuk pemulihan para korban
KontraS bersama dengan komunitas korban pelanggaran HAM merupakan subyek hukum yang memilki hak untuk terlibat dan memberikan masukan kepada KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Peraturan KPU No 23 tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum menyebutkan. “dalam penyelenggaraan Partisipasi Masyarakat, Masyarakat berhak; berpendapat, menyampaikan pikiran baik lisan maupun tulisan” jo Pasal 11 ayat 2 huruf b: “Keterlibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1): memberikan masukan/tanggapan terhadap pelaksanaan pemilu”. (PR)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...