Krisis Identitas
SATUHARAPAN.COM – Terlahir sebagai WNI keturunan Cina membuat saya merasa ada di ”pertengahan”. Dianggap asing oleh orang Indonesia, juga oleh orang Cinanya sendiri. Krisis identitas. Apalagi, saya menyandang nama Cina, bermata sipit, tanpa mampu menggunakan bahasanya. Pernah saya diajak bicara menggunakan bahasa Mandarin oleh seorang nenek di Singapura, saya dengan tergagap menjawab: ”I can’t speak Chinese.” Dia langsung mengomeli saya dengan kata-kata yang tak saya mengerti.
Demikian pula ketika anak saya yang kelas 1 SD menanyakan PRnya: Berasal dari suku Indonesia manakah dirimu? Apakah nama baju adatmu? Saya sungguh bingung menjawabnya. Apa lagi, keterangan mengenai suku Cina tidak ada dalam buku pelajaran IPS itu.
Pada saat saya mengurus surat-surat, saya selalu mendapat biaya yang lebih mahal ketimbang suami yang bernama Indonesia meski sukunya Cina juga. Seorang kerabat mengatakan bahwa kalau mau hidup di Indonesia, harus ganti nama Indonesia supaya tidak repot. Tetapi saya bilang kepadanya, ke-Indonesia-an saya bukanlah dilihat dari sepotong nama.
Sejatinya kita memang tidak bisa memilih warna kulit kita, juga tempat kita dilahirkan, tetapi kita bisa memilih untuk apa kita hidup. Menghadapi krisis identitas, saya memilih di mana Tuhan menempatkan saya, di situlah tempat saya. Dan Tuhan menempatkan saya di Indonesia. Di sinilah saya berada, inilah negara saya.
Kembali ke PR anak saya, saya memberi catatan kepada gurunya bahwa kami terlahir di Indonesia, warga negara Indonesia keturunan Cina. Sayangnya itu tak ada dalam kurikulum, meski Sang Guru dapat memakluminya. Masukan juga bagi Mendikbud dan jajarannya saya kira! Semoga!
editor: ymindrasmoro
email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...