Krisis Yunani Picu Angka Bunuh Diri dan Depresi
ATHENA, SATUHARAPAN.COM - Krisis ekonomi Yunani tidak hanya berdampak pada menurunnya kesejahteraan tetapi juga menggerus daya tahan emosional penduduk negara tersebut. Sebuah penelitian terbaru menggunakan statistik resmi menunjukkan lonjakan 35 persen dalam tingkat bunuh diri di Yunani selama dua tahun pertama program penghematan. Para peneliti menemukan kaitan antara bertambahnya persentase pengangguran dengan pertambahan persentase tingkat bunuh diri di kalangan pria usia kerja. Selain itu tingkat depresi juga dilaporkan telah meningkat dari 3,3 persen menjadi 8,2 persen antara tahun 2008 dan 2011.
The Newsweek, dalam laporannya berjudul Greek Crisis has Seen Rise Suicide and Depression, melaporkan, tatkala semangat negeri itu sudah jatuh, demikian pula dengan pendanaan dan akses terhadap kesehatan. Belanja kesehatan Yunani anjlok dari 9,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2012 (setara dengan rata-rata negara-negara anggota OECD) menjadi 5 persen saat ini. Sebanyak 2,5 juta penduduk Yunani tidak memiliki asuransi saat ini dan 800.000 diperkirakan tidak mendapatkan tunjangan pengangguran sebagai alat untuk mengakses perawatan kesehatan.
Ruang Gawat Darurat di rumah-rumah sakit dewasa ini diberdayakan untuk menyerap limpahan pasien dari fasilitas perawatan primer. Menurut sebuah studi tahun 2014 yang dilakukan oleh Komisi Eropa dan dua universitas Yunani, kunjungan ke ruang gawat darurat mengalami kenaikan 35 persen, termasuk peningkatan dalam jumlah signifikan orang yang mencari pengobatan untuk masalah kecemasan.
Di Universitas Athena, sekelompok peneliti sedang mencoba untuk mengukur lebih tepatnya dampak psikologis krisis. Sejak 2011, Bettina Davou, profesor psikologi, dan Nicolas Demertzis, profesor komunikasi politik, mempelajari keadaan emosional masyarakat Yunani. Temuan terbaru mereka, yang akan mereka terbitkan dalam bahasa Inggris di musim gugur, seirama dengan ekspresi frustrasi massa yang menggelegak ke permukaan dalam beberapa hari terakhir.
Salah satu proyek yang mereka kerjakan adalah meneliti bagaimana gambaran krisis mempengaruhi perasaan putus asa dan persepsi terhadap politik. Kepada satu kelompok yang terdiri dari 80 orang ditunjukkan gambar-gambar orang yang terkena dampak krisis Athena seperti tunawisma dan orang yang mengorek-ngorek tong sampah untuk makan. Sementara satu kelompok kontrol lain ditunjukkan gambar netral, suasana pra-krisis di Athena, seperti orang belanja atau minum kopi. Hasilnya, seluruh kelompok, termasuk kelompok kontrol, mencatat tingkat keputusasaan yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara-negara lain (menggunakan skala Keputusasaan, Skala Beck), dan kelompok eksperimen melaporkan peningkatan tingkat keputusasaan.
"Setiap orang putus asa di Yunani," kata Davou, berbicara dalam sebuah wawancara telepon baru-baru ini.
Davou dan timnya juga melakukan wawancara mendalam dengan orang-orang Yunani dari berbagai kategori usia, pendapatan dan pekerjaan. Walau mereka masih harus menyelesaikan hasil penelitian ini, Davou mengatakan mereka telah menemukan sentimen keputus-asaan yang berulang.
"Ada keyakinan meningkat bahwa partai politik Yunani tidak dapat mempengaruhi atau mengubah situasi," kata Davou dalam jawabannya kepada Newsweek melalui email. Hal ini terutama umum di kalangan mereka yang berusia 25-44 tahun, yang menurut para peneliti ini adalah para "ideologis bingung."
"Mereka tidak percaya pada politik dan pada lembaga-lembaga negara dan menerima begitu saja kenyataan bahwa mereka tinggal di negara yang rusak," katanya.
Di antara mereka yang paling terkena dampak langsung krisis (misalnya, mereka yang kehilangan pekerjaan mereka), menurut Davou ada tanda-tanda trauma emosional, mati rasa atau memakai mekanisme pertahanan emosional seperti "penolakan, kebingungan akan pemikiran dan identitas, dan imobilisasi." Dia juga mencatat adanya kemarahan dan "perasaan bahwa kita sedang dipermainkan atau dijadikan eksperimen," sebagai tema yang berulang.
Thanassis Dimitriou, seorang insinyur mekanik berusia 34 tahun dengan gelar MBA, telah dua setengah tahun menganggur. Ia mengungkapkan perasaan yang sama dalam sebuah wawancara telepon baru-baru ini. Dia baru-baru ini dialihkan menjadi pekerja paruh waktu (setengah gaji) di perusahaan manufaktur mekanik di mana dia bekerja. Selama periode pengangguran, dia mengaku terkejut dengan intensitas kemarahan yang ia rasakan.
"Apa pun yang dijanjikan kepada Anda adalah kebohongan," kata Dimitriou. "Saya dibesarkan untuk percaya bahwa jika Anda bekerja keras dan jujur, dll, Anda akan dihargai. Tapi itu tidak benar. "
Maka seseorang seperti Valia Gkeka di Yunani bisa dikatakan beruntung karena selama beberapa tahun terakhir ia berhasil mempertahankan pekerjaannya. Pengacara berusia 36 tahun ini masih bisa membayar tempat tinggalnya sendiri, tidak harus pindah dan menumpang kembali ke rumah orang tua, seperti banyak dilakukan profesional lainnya. Tapi dia pun masih merasakan kacau dan tidak aman. "Saya tidak merasa sebagai otonom. Saya tidak merasa seperti saya benar-benar memiliki kontrol atas hidup saya, "katanya. "Ada ungkapan yang sering kami gunakan belakangan ini:: 'Sampai dimana dasar jurang?" Karena tampaknya bahwa kami jatuh, jatuh dan jatuh, dan kami tidak bisa berhenti. "
"Saya berharap bisa lebih percaya diri membentuk keluarga saya sendiri," kata Gkeka. "Ini adalah bagian terburuk bagi saya. Bahwa saya belum mampu memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, yang menjadi penentu landasan bagi sisa hidup saya."
Editor : Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...