Kristen dan Hindu Hidup Rukun dengan Taliban di Bannu
BANNU, SATUHARAPAN.COM - Umat Kristiani dan Hindu yang melarikan diri dari serangan militer gerilyawan di Pakistan barat laut mengatakan Taliban memperlakukan mereka dengan toleransi persaudaraan, berlawanan dengan reputasi brutal gerilyawan itu yang diketahui selama ini.
Sekitar 2.000 orang dari minoritas agama yang kerap diperangi di negara itu, melarikan diri dari operasi militer yang dimulai pada pertengahan Juni di daerah suku North Waziristan ke kota terdekat di Bannu, tempat banyak di antara mereka berlindung di beberapa sekolah Kristen.
Seperti hampir setengah juta warga lain yang melarikan diri dari pertempuran, mereka mengungkapkan kesulitan hidup di sebuah zona yang terperangkap konflik selama lebih dari satu dekade.
North Waziristan, yang berbatasan dengan Afghanistan, menjadi surga bagi Taliban dan gerilyawan yang terkait Al Qaeda selama bertahun-tahun.
Meskipun Taliban berkeinginan membentuk negara Islam dan mengklaim melakukan beberapa serangan berdarah, sejumlah warga beragama Kristen dan Hindu dari tempat tinggal mereka mengatakan kepada AFP tidak menjadi target penganiayaan.
Jameela Itbari Lal, perempuan Hindu berusia 80 tahun, mengatakan dia bermigrasi ke North Waziristan pada usia 15 tahun untuk menikah dengan suaminya.
“Saya menghabiskan 65 tahun di Miranshah, setelah menikah dengan warga Hindu setempat. Itu adalah hari-hari yang penuh arti. Kami menikmati perdamaian, cinta, dan rasa hormat dari masyarakat setempat,” tuturnya kepada AFP di Bannu, sambil duduk di tempat tidur dikelilingi anak-anak dan cucunya.
Semua mulai berubah memburuk saat Taliban bangkit, kenangnya. “Situasinya mengerikan saat melihat gerilyawan Taliban, dandanannya menakutkan, dan mereka ada di jalanan kota sambil membawa senjata,” katanya.
Komunitas kecil Kristiani dan Hindu tinggal di daerah adat yang bergejolak sejak zaman pemerintahan Inggris. Banyak warga keturunan yang dibawa perwira Inggris sebagai pelayan.
Taliban dituduh oleh banyak warga memeras pemilik toko dan mencuri untuk mendapat tebusan. Namun, Lal mengatakan, “Kami tidak pernah diancam atas dasar keagamaan kami dan tidak pernah dipaksa pindah keyakinan.”
Iqbal Masih (38), apoteker Kristen dari North Waziristan, mengatakan kepada AFP, “Tidak ada seorang pun yang akan percaya Taliban turut prihatin atas pengeboman di gereja Peshawar dan menyampaikan kepada kami pesan simpati dan belasungkawa.”
“Kami menerima penghargaan dan perlakuan yang baik karena Taliban menganggap kami sebagai tamu.”(AFP/Ant)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...