Kronologi Kontroversi Renegosiasi Kontrak Freeport
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Staf Khusus Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Said Didu mengungkapkan kronologis perjanjian PT Freeport Indonesia terkait pro dan kontra yang melatarbelakangi proses kerja sama tersebut.
"Saat ini Freeport belum terikat kontrak, baru menyampaikan klausul point-point perjanjian baru, masih menunggu regulasi aturan baru," kata Said Didu dalam diskusi dengan wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, hari Jumat (16/10).
Ia menjelaskan pada tanggal 7 Oktober 2015 lalu, Menteri ESDM, Sudirman Said telah mengirimkan surat kepada Freeport yang menyatakan bahwa PT FI dapat terus melanjutkan kegiatan operasinya hingga 30 Desember 2021, serta berkomitmen untuk melakukan investasi renegosiasi dengan menyesuaikan peraturan perundangan yang ada.
"Sekarang undang-undang-nya belum selesai, nanti kalau sudah selesai, barulah Freeport diminta mengirimkan permintaan perjanjian kontrak yang baru, begitu jelasnya, bukan teken kontraknya," katanya.
Ia menyebutkan Menteri ESDM melakukan hal tersebut karena sudah berkoordinasi dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Jadi bukannya jalan sendiri, tapi kami sudah mendapat perintah untuk bernegosiasi tanpa melibatkan banyak pihak, karena presiden khawatir dengan banyaknya kepentingan dalam perpanjangan izin ini," ungkapnya.
"Sebelumnya Freeport juga telah beberapa kali mengirimkan surat perpanjangan operasi pada 9 Juli 2015 serta 7 Oktober 2015, dan juga sudah ditegur juga oleh Ditjen Minerba ketika tidak patuh Undang-undang," kata Sudriman Said.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menuntut tiga hal dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat PT Freeport Indonesia jika ingin melanjutkan operasi di Tanah Air.
"Pertama, kami minta mereka bayar royalti sebesar 6 persen hingga 7 persen. Sebelumnya hanya 1 persen. Bayangkan coba itu," katanya dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR.
Menurut dia, saat awal Orde Baru, membayar royalti hasil tambang sebesar 1 persen tidak jadi masalah lantaran belum ada investor yang masuk.
Namun, saat perpanjangan kontrak pada pertengahan tahun 80-an, ia menilai seharusnya bisa lebih menguntungkan Indonesia.
"Yang terjadi, mohon maaf, pejabatnya disogok. Sehingga terjadi perpanjangan kontrak yang tidak berubah `term`-nya sama sekali," katanya.
Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu meminta agar hal tersebut jangan sampai terjadi lagi. Maka, renegosiasi kontrak dengan Freeport akan menjadi momentum untuk menulis ulang sejarah dalam pengelolaan pertambangan mineral. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...