Lagi-lagi, Penghargaan untuk Indonesia Belum Sesuai Kenyataan
BOGOR, SATUHARAPAN.COM - Indonesia akan menjadi satu dari 34 negara yang akan mendapatkan penghargaan dari organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) akhir bulan ini karena dianggap berhasil meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan perlindungan sosial bagi kaum miskin. Namun, lagi-lagi, penghargaan yang ditujukan bagi Tanah Air ini bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
Demikian tertulis dalam siaran pers Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang diterima pada hari Jumat (7/6). “Pertama, kenaikan produksi pangan hanya sesaat bahkan ada komoditas yang grafiknya turun. Ke-2, keberhasilan ini sesungguhnya tidak mencerminkan keberhasilan pemerintah yang sebenarnya. Pada kenyataanya, pemerintah gagal mencapai target-target swasembada.”, kata Manager Advokasi dan jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah.
Pada tahun 2014 Kementerian Pertanian menargetkan swasembada padi, jagung, kedelai, gula dan daging. Masing-masing target produksinya adalah 76,57 juta ton untuk padi, 29 juta ton jagung, 2,7 juta ton kedelai, 3,45 juta ton gula dan 0,66 juta ton daging. Target ini diyakini tidak akan tercapai jika melihat tren produksi hingga tahun 2012 lalu.
Pada tahun 2012, produksi padi hanya 6,8 juta ton, jagung 17 juta ton, kedelai 783 ribu ton. Sedangkan gula dan daging, produksi 2011 masing-masing 2,2 juta ton dan 465 ribu ton.
Bagi negara berkembang peningkatan ekspor memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi sementara impor mempunyai pengaruh yang negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Semakin besar impor, semakin landai pertumbuhan ekonominya.
Meningkatnya impor tidak hanya menguras devisa negera namun juga memberikan tekanan yang luar biasa pada petani. Apalagi ditengah langkanya proteksi pemerintah terhadap petani dan produk-produknya. Produk petani kalah bersaing dengan pangan impor yang lebih murah.
Akibatnya petani tidak mengalami peningkatan pendapatan secara signifikan, tetap bergelut dengan kemiskinan dan rawan pangan. Hingga akhir 2012, angka kemiskinan hanya turun 0,3 persen menjadi 11,66 persen atau 29 juta jiwa. Padahal target penurunan kemiskinan hingga 8 persen. Dari jumlah itu sebanyak 18 juta jiwa atau 64 persen berada di pedesaan yang mayoritas berprofesi sebagai petani gurem dan nelayan tradisional.
Pertumbuhan produksi pangan yang terjadi sesaat tentu tak bisa dibanggakan dan dipandang sebagai keberhasilan terlebih tak sampai memenuhi target. Semestinya pertumbuhan produksi diskenariokan jangka panjang, berkelanjutan dan berkeadilan. Berkelanjutan mungkin dicapai dengan pendekatan produksi yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim.
Sementara berkeadilan hendaknya memberikan dampak positif bagi subyek utama produksi pangan yaitu petani. Jika selama ini petani hanya dipandang sebagai alat produksi, saatnya menjadikan petani sebagai aktor penting yang perlu disejahterakan kehidupannya.
“Apalah arti penghargaan jika tak membawa kebaikan bagi petani, rakyat dan negeri ini,” pungkas Said Abdullah.
Editor : Wiwin Wirwidya Hendra
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...