Lakhdar Brahimi, Perjalanan Karya untuk Perdamaian
SATUHARAPAN.COM – Konferensi Jenewa II untuk mengakhiri perang di Suriah tidak lepas dari seorang diplomat senior kaliber dunia, Lakhdar Brahimi. Di usia yang cukup lanjut Brahimi masih cukup berenergi untuk terus mendorong para pihak yang berkonflik di Suriah bersedia untuk berunding dan mencari solusi politik bagi negara di Timur Tengah itu. Sekarang di Jenewa, Swiss, ia menjadi figur yang penting yang menjembatani dialog antara para pihak di Suriah untuk membahas isu-isu yang sulit.
Konferensi Jenewa II dimulai hari Rabu (22/1) dan akan membutuhkan waktu yang panjang. Dan nama Lakhdar Brahimi akan terus disebut. Berikut ini profil Lakhdar Brahimi.
Lakhdar Brahimi mewarnai perjalanan hidupnya dengan berkarya pada berbagai perjuangan untuk mewujudkan perdamaian di dunia.
Setelah pecahnya perang Aljazair pada 1954, pria yang lahir 1 Januari 1934 ini meninggalkan pendidikannya di Paris, Prancis pada 1956 untuk bergabung dalam perjuangan kemerdekaan.
Brahimi memulai karyanya bagi negaranya, Aljazair, dengan memperjuangkan kemerdekaan Aljazair pada tahun 1956-1961 sebagai perwakilan National Liberation Front di Asia Tenggara, yaitu ketika usianya baru 22 tahun. Ia menjabat posisi tersebut selama lima tahun dan tinggal di Jakarta, Indonesia.
Perjalanan Karya di Aljazair
Setelah kemerdekaan Aljazair dari Prancis pada 1962, Brahimi memulai peran diplomatisnya untuk Aljazair. Bermodal pendidikan hukum dan ilmu politik yang ditempuhnya di Aljazair dan Prancis, Brahimi menjadi duta besar Aljazair untuk beberapa negara.
Ia bertugas sebagai duta besar Aljazair untuk Mesir dan Sudan, termasuk sebagai Perwakilan Tetap untuk Liga Arab pada 1963-1970.
Selanjutnya Brahimi menjadi duta besar Aljazair untuk Inggris pada 1971-1979 dan meneruskan karirnya sebagai Penasihat Diplomatik untuk Presiden sejak 1982-1984.
Pada 1984-1991, Brahimi menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Liga Arab sekaligus menjabat sebagai Utusan Khusus Komite Tripartit Liga Arab untuk Lebanon sejak 1989-1991. Pada masa jabatannya di Lebanon, ia melakukan mediasi untuk mengakhiri perang sipil di negara tersebut. Mediasi ini menghasilkan Taif Agreement yang mengakhiri perang sipil yang sudah terjadi selama 17 tahun di Lebanon.
Brahimi kemudian kembali berkarya di negaranya sebagai Menteri Luar Negeri pada kurun 5 Juni 1991 hingga 3 Februari 1993.
Perjalanan Panjang Bersama PBB
Pada medio 1992, Brahimi mulai berkecimpung dalam gerakan-gerakan yang dilakukan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). Ia memulainya dengan menjadi Rapporteur dalam United Nations Conference on Environment and Development (the Earth Summit) pada 3 Juni 1992 hingga 14 Juni 1992.
Selanjutnya, Brahimi aktif sebagai utusan khusus PBB ke beberapa negara seperti Afrika Selatan (Desember 1993-Juni 1994), Haiti (1994-1996), dan Afganistan (Juli 1997-Oktober 1999).
Dalam masa tugasnya di Afrika Selatan, ia sempat memimpin tim PBB dalam Observer Mission hingga pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis pada 1994 di mana Nelson Mandela terpilih untuk mengambil posisi kepresidenan pasca-apartheid.
Atas nama PBB, pada tahun 1996-1997 Brahimi melakukan serangkaian misi khusus ke Zaire, Kamerun, Yaman, Burundi, Angola, Liberia, Nigeria, Sudan, dan Pantai Gading.
Brahimi kembali bertugas sebagai Utusan Khusus PBB untuk Afganistan pada 3 Oktober 2001 hingga 31 Desember 2004. Ia diberi kepercayaan serta wewenang penuh untuk mengelola aktivitas politik, hak asasi manusia (HAM), bantuan, pemulihan, dan rekonstruksi yang dilakukan PBB di sana.
Setelah Operation Enduring Freedom yang menggulingkan pemerintahan Taliban pada Desember 2001, Bonn (sebuah kota di Jerman) menjadi tuan rumah untuk konferensi para pemimpin Afganistan di Hotel Petersberg. Konferensi ini dipimpin oleh Brahimi, yaitu sejak 24 November 2001 hingga 5 Desember 2001.
Brahimi kemudian ditunjuk menjadi Penasihat Khusus untuk Sekjen sekaligus Wakil Sekjen PBB pada 1 Januari 2004 dan menjabat hingga 2005. Sebagai Penasihat Khusus, Brahimi memberikan saran kepada Sekjen mengenai berbagai isu, termasuk mengenai pencegahan konflik dan resolusi konflik.
Ia masih meneruskan perjalanan karirnya di PBB di antaranya sebagai Utusan Khusus PBB untuk Irak (1 Januari 2004 hingga 12 Juni 2004), ketua Independent Panel on Safety and Security of United Nations Personnel and Premises Worldwide (5 Februari 2008 – 9 Juni 2008), dan Utusan Khusus PBB dan Liga Arab untuk Suriah sejak 2012 hingga saat ini.
Brahimi Report
Dalam masa tugasnya di Afganistan (Juli 1997-Oktober 1999), ia juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal untuk tugas khusus mendukung usaha pencegahan dan perdamaian yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Kofi Annan.
Ia memiliki kapasitas untuk memimpin Independent Panel on United Nations Peace Operations sejak 7 Maret 2000 hingga 17 Agustus 2000.
Laporan masa tugasnya ini diluncurkan pula pada tahun 2000 yang kemudian dikenal sebagai “Brahimi Report”.
Laporan ini melihat kekurangan dari sistem perdamaian yang ada, yaitu mengritisi kegagalan PBB dalam merespons kekerasan yang terjadi di Rwanda pada 1994 dan Srebrenica, Bosnia, dan Herzegovina pada 1995.
Selain itu, “Brahimi Report” juga membuat rekomendasi perubahan yang berfokus pada politik, strategi, operasional, dan cakupan kebutuhan, serta merekomendasikan suatu konsultasi dan kerja sama yang lebih baik di antara negara-negara dalam misi perdamaian.
Memperjuangkan Perdamaian Bersama The Elders
The Elders merupakan kelompok independen yang terdiri atas pemimpin-pemimpin global yang bekerja bersama untuk perdamaian dan HAM. Kelompok ini digagas oleh Nelson Mandela pada tahun 2007, dan Brahimi bergabung sejak berdirinya kelompok ini.
Di The Elders, Brahimi dikenal sebagai mantan pejuang kemerdekaan Aljazair, mediator konflik, diplomat PBB, serta ahli perdamaian dan rekonstruksi konflik.
Ia melakukan perjalanan ke Sudan bersama The Elders pada Oktober 2007 untuk memberi perhatian pada korban kekerasan di Darfur. Ia kemudian kembali ke Khartoum pada Mei 2012 untuk bertemu Presiden Omar al-Bashir. Perjalanan ini merupakan bagian dari dua tahap kunjungan The Elders ke wilayah tersebut untuk mendorong terjadinya dialog antara Sudan dan Sudan Selatan.
Sebagai bagian dari usaha The Elders untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah, Brahimi bergabung dalam perjalanan ke Gaza, Mesir, Suriah, dan Yordania pada Oktober 2010. Dalam pertemuan dengan pihak PBB, masyarakat sipil, dan pemimpin politik, ia mengulangi seruannya untuk mengakhiri pendudukan dan menekankan pada perlunya usaha mencapai solusi dua negara bagi Israel dan Palestina.
Brahimi juga mengunjungi Siprus tiga kali untuk mendukung perdamaian antara Siprus Yunani dan Siprus Turki.
Dalam film dokumenter The Elders (Cyprus: Digging the Past in Search of the Future), Brahimi menekankan mengenai pencarian orang-orang yang masih hilang akibat kekerasan pada dekade 1960 dan 1970. Dalam film tersebut, ia berdiskusi dengan Uskup Agung Desmond Tutu tentang sulitnya mengampuni.
Perjalanan untuk Suriah
Sejak 2012 (dan masih sampai saat ini), Brahimi menggantikan Kofi Annan sebagai Utusan Khusus PBB dan Liga Arab untuk Suriah.
Konferensi Jenewa II yang membicarakan solusi perdamaian di Suriah berada di ambang kehancuran. Utusan pemerintah mengancam untuk keluar karena permintaan oposisi mengenai pemerintahan transisi di mana Presiden Bashar Al-Assad tidak termasuk di dalamnya.
Brahimi adalah satu-satunya yang memiliki komitmen kepada kedua pihak untuk duduk bersama.
Brahimi menyampaikan kritik dari dunia internasional terhadap pemerintah Suriah dan oposisi mengenai kekerasan yang terus terjadi di negara tersebut.
Pada Jumat (24/1), The Washington Post mengutip pernyataan Brahimi mengenai usahanya bagi Suriah: “Besok (25/1), kedua pihak akan berada di sini; mereka akan bertemu. Kami akan bekerja pada Sabtu (25/1); kami juga akan bekerja pada Minggu (26/1). Tidak ada seorang pun yang akan pergi pada hari Sabtu (25/1), dan tidak ada seorang pun yang akan pergi pada Minggu (26/1),” katanya menegaskan.
The Guardian pada Minggu (26/1) melaporkan bahwa Brahimi mengapresiasi negosiasi pada Sabtu (25/1) sebagai awal yang baik. Namun ia menyayangkan bahwa sampai saat ini, kedua belah pihak hanya mau berbicara melalui dia, tidak berbicara langsung satu sama lain. (un.org/Wikipedia/theguardian.com/theelders.org/washingtonpost.com)
Editor: Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...