Laporan: Dunia dalam Ancaman Teroris Berbasis Agama
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperingatkan bahwa teroris yang berbasis agama, bahkan oleh beberapa pemerintah di seluruh dunia, sedang mengancam kebebasan penganut agama minoritas.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, yang mengumumkan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2015, pada hari Rabu (10/8).
"Salah satu cara terbaik untuk menolak kemenangan para pembunuh adalah dengan memastikan bahwa orang yang akan mereka hancurkan, tidak hanya bertahan, tapi berkembang," kata Blinken.
Selain laporan itu, sebagaimana biasa, menyoroti pelanggaran serius kebebasan beragama oleh pemerintah di suatu negara, laporan tahun ini juga menyoroti ancaman oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS). Blinken menyebut ancaman besar oleh ISIS yang disebut juga dalam bahasa arab sebagai Daesh, Al Qaeda, Al Shabab dan Boko Haram.
Tidak ada yang lebih mengerikan dari diskriminasi dan memisahkan para pengikut satu agama dari yang lain, apakah itu di sebuah desa, di dalam bus, atau di ruang kelas, dan niat membunuh atau memperbudak para anggota kelompok tertentu, kata Blinken dalam laporan itu.
Negara di Daftar Perhatian Khusus
Laporan itu menunjuk Departemen Luar memberi perhatikan khusus pada negara tertentu, karena pelanggaran kebebasan beragama sedang berlangsung. Pada bulan Februari, diumumkan daftar saat negara-negara itu, yaitu Burma, Tiongkok, Eritrea, Iran, Korea Utara, Arab Saudi, Sudan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan.
Laporan itu memberikan rincian tentang situasi di sekitar 200 negara secara rinci. Dan menyoroti peranan hukum dan penegakan hukum di setiap negara dalam pelindungi kebebasan beragama.
David Saperstein, duta besar AS untuk kebebasan beragama internasional, dalam penjelasan tahunan World Watch List pada 13 Januari 2016 di Washington mengatakan sekitar 24 persen negara di dunia, di mana 74 persen populasi dunia tinggal, mempunyai pembatasan serius kebebasan beragama, berdasarkan kebijakan pemerintah atau tindakan bermusuhan oleh organisasi, individu atau masyarakat .
Dia menyebutkan tentang kasus penghujatan dan pemurtadan di mana di seluruh dunia tidak ada satu wilayah, negara atau agama yang kebal terhadap efek merusak dari adanya undang-undang atau kebijakan tersebut.
Dia menyebutkan contoh kasus itu antara lain hukuman mati bagi penghujatan di Mauritania, Pakistan, Arab Saudi. Bahkan anak yang bermain bola di Suriah dianggap menghujat Tuhan dan dihukum mati oleh kelompok ISIS.
Laporan itu juga memberi apresiasi pada para pihak di luar pemerintah yang bertindak melawan undang-undang penghujatan, dan bekerja untuk melindungi kelompok minoritas agama dengan cara lain. Dia memuji kelompok, termasuk pemuda Muslim, yang membentuk pagar manusia di sekitar rumah-rumah ibadat menghadapi ancaman anti-Semit dan Muslim yang menghadiri ibadah di Prancis dalam solidaritas dengan komunitas mereka setelah pemenggalan baru-baru ini terhadap seorang imam Katolik.
Editor : Sabar Subekti
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...