Laporan Gereja Katolik Australia: Terjadi Genosida di Papua
BRISBANE, SATUHARAPAN.COM - Sebuah tuduhan terhadap militer dan polisi baru-baru ini didokumentasikan oleh sebuah laporan terbaru dari Keuskupan Gereja Katolik Brisbane, yang mengatakan warga Papua dipukuli, diintimidasi, disiksa, diculik bahkan dibunuh di Papua.
Dokumen itu juga mendokumentasikan adanya radikalisasi Muslim di provinsi yang berpenduduk dominan Kristen tersebut, dimana para milisi Muslim dikatakan secara aktif membakar rumah-rumah para warga Papua.
Isi laporan ini dihimpun oleh Shadow Human Right Fact Finding Mission to West Papua yang dibentuk oleh Brisbane Catholic Justice and Peace Commission, menyusul kunjungan mereka ke Papua bulan lalu.
Adanya laporan ini diinformasikan oleh catholicleader.com.au, yang menurunkan tulisan pada Kamis (9/3).
Menurut catholicleader.com.au, laporan resmi dari gereja Katolik Brisbane tentang ini belum dilansir kepada publik.
Juga belum ada komentar dari para pejabat yang berwewenang di Indonesia.
satuharapan.com kini sedang mengkonfirmasi hal ini kepada pihak yang terkait.
Salah satu penasihat senior Presiden Joko Widodo untuk urusan Papua, Michael Manufandu, belum dapat memberikan jawaban ketika dihubungi oleh satuharapan.com hari ini (10/3), karena sedang rapat di Sorong.
Laporan itu mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.
Laporan itu juga membandingkannya dengan sebuah genosida dalam gerak lambat dan menyatakan bahwa "orang (pemerintah) Indonesia ingin mengganti agama Kristen dengan Islam".
Penulis laporan tersebut, Suster Josephite, Susan Connelly, berangkat ke Papua didampingi oleh oleh executive officer Komisi Perdamaian dan Keadilan Keuskupan Agung Brisbane, Peter Arndt.
Selama misi pencarian fakta, mereka mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong.
Suster Connelly, advokat hak asasi manusia yang dihormati, menyamakan kunjungannya ke Papua Barat seperti "melangkah kembali ke dua puluh tahun silam ketika saya pertama kali pergi ke Timor Timur".
"Penindasan yang sama (dengan di Timor Timur) ada di mana-mana, kecurigaan yang sama, kebingungan, frustrasi dan kesedihan," kata dia.
"Seorang pria memegang tanganku dan berkata, 'Kami berada dalam bahaya'. Pernyataan sederhana yang menyimpulkan seluruh pengalaman kunjunganku ke sana," tulis dia.
"Orang-orang Papua telah kehilangan begitu banyak, dan menghadapi penghapusan sebagai manusia, hanya dipertahankan sebagai suatu keanehan dari masa lalu atau artefak yang akan difoto untuk brosur wisata."
"Mereka menyadari bahwa tanah mereka dianggap lebih berharga daripada mereka."
Tim pencari fakta mendengar banyak dugaan pembunuhan dan kebrutalan oleh polisi.
"Ada bukti yang jelas tentang kekerasan yang sedang berlangsung, intimidasi dan pelecehan oleh pasukan keamanan Indonesia," kata Arndt ketika kembali ke Brisbane.
"Itu terutama terjadi kepada warga Papua yang mengekspresikan dukungan mereka terhadap pandangan politik tertentu."
"Pihak berwenang ingin menutup setiap upaya Papua untuk mempromosikan diskusi tentang penentuan nasib sendiri, dan mereka telah menerapkan respon militer untuk menghadapi keinginan tak tertahankan dari sejumlah besar orang Papua untuk mempromosikan perjuangan mereka untuk kebebasan," kata Arndt.
Berdasarkan wawancara di berbagai tempat di Papua, Arndt mengidentifikasi penggiat pelanggaran hak asasi manusia sebagai anggota tentara Indonesia termasuk Kopassus, polisi termasuk unit khusus kontra pemberontakan, Densus 88, dan badan intelijen di Indonesia, BIN.
"Bahkan demonstrasi tentang isu-isu sosial seperti akses pendidikan, dibubarkan oleh pihak berwenang," katanya.
Tim pencari fakta mendengar banyak contoh bagaimana Pemerintah Indonesia mendorong pembangunan ekonomi, tapi mengabaikan hak asasi manusia.
"Pemerintah telah menguasai tanah dan diberikan untuk eksploitasi untuk sekitar 50 perusahaan multinasional," kata laporan itu.
"Prosedurnya adalah bahwa pemerintah daerah mengundang perusahaan untuk datang dan memberikan izin."
"Orang-orang biasanya terkejut ketika perusahaan datang untuk menandatangani MoU (nota kesepahaman) dengan mereka, menunjukkan kepada mereka izin dan peta."
"Jika warga tidak setuju dengan usulan tersebut, perusahaan akan kembali ke pemerintah daerah dan (mereka) kembali dengan (membawa) polisi."
Pada 1970-an, penduduk asli Papua menyumbang 96 persen dari populasi.
Hari ini mereka adalah minoritas, 48 persen, karena migrasi cepat Indonesia dari pulau-pulau yang lebih banyak penduduknya seperti dari pulau Jawa.
Laporan ini menemukan bahwa orang Papua sekarang terpinggirkan secara ekonomi demi imigran, yang mayoritas adalah Muslim.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...