Letusan G. Salamas di Lombok Akibatkan Musim Dingin Panjang dan Gagal Panen
CAMBRIDGE, SATUHARAPAN.COM – Temuan tentang belerang dan debu vulkanik di kutub yang bersesuaian dengan material sama di Gunung Salamas, Pulau Lombok menandakan bahwa letusan gunung itu yang menyebabkan terjadinya musim dingin mendadak dan gagal panen di dunia.
Temuan para ilmuwan itu mengarah pada dugaan kuat pada letusan besar gunung tersebut pada tahun 1257 masehi. Teks abad pertengahan di Eropa telah membahas tentang iklim yang mendadak menjadi dingin, dan mengakibatkan gagal panen.
Peristiwa itu dianggap sebagai misteri besar, dan jejak kimianya tercacat dalam lapisan es Kutub Utara dan Antartika.
Dalam sebuah tulisan di Jurnal PNAS, tim peneliti internasional menunjukkan jejak tersebut mengarah pada letusan besar gunung api Samalas di Pulau Lombok, Indonesia. Gunung itu sendiri setelah letusan tinggal tersisa berupa danau kawah besar.
Penyebutan gunung Salamah agak membingungkan, karena gunung di Lombok yang dikenal masyarakat adalah Gunung Rinjani yang tingginya 3.726 meter dari permukaan laut dan danua kawah yang besar yang oleh masyarakat lokal disebut sebagai Segara Anakan.
Pada sebuah naskah Jawa Kuno berupa kakawin pada daun lontar disebutkan bahwa Gunung Rinjani dan Gunung Salamas runtuh. Naskah itu menyebut tentang sebelum akhir abad ke-13. Akibat letusan itu menghancurkan kerajaan Pamatan.
Oleh karena itu, para ahli juga menduga bahwa ibu kota kerajaan itu masih dalam timbunan endapan vulkanik Gunung Salamas yang disebutnya sebagai letusan gunung terbesar dalam kurun 12.000 tahun.
Abu Vulkanik di Lapisan Es
Tim ini telah menemukan adanya jejak belerang dan debu vulkanik pada es di kutub, dan juga data yang dikumpulkan di wilayah Lombok. Tim bahkan menemukan kesamaan tanggal radiokarbon, jenis abu dan penyebaran batuan yang dikeluarkan dari letusan, lingkaran cicin pohon, dan juga sejarah lokal di Kerajaan Lombok yang mengingat adanya musim gugur pada abad ke-13.
"Bukti ini sangat kuat dan menarik," kata Prof. Clive Oppenheimer, dari Cambridge University, Inggris.
Rekan kerjanya, Prof. Franck Lavigne, dari Universitas Pantheon - Sorbonne, Prancis, menambahkan, "Kami melakukan sesuatu yang mirip dengan investigasi kriminal. Kami pada awalnya tidak tahu pelakunya, tapi kami punya waktu “pembunuhan dan sidik jari” dalam bentuk geokimia di inti es, dan yang memungkinkan kami untuk melacak gunung berapi yang bertanggung jawab."
Pada awalnya, Letusan yang terjadi pada 1257 banyak dikaitkan dengan gunung berapi di Meksiko, Ekuador dan Selandia Baru. Tetapi hasil penelitian geokimia menggugurkan dugaan itu. Hanya Samalas yang bisa "mencentang semua kotak."
Kuburan Massal
Tim studi di Lombok menunjukkan bahwa sebanyak 40 kilometer kubik batuan dan abu diperkirakan terlempar dari letusan gunung berapi itu. Material tersebut naik setinggi 40 kilometer ke angkasa.
Letusan besar besar yang membuat materialnya tersebar ke seluruh dunia dan jejaknya ditemukan fi lapisan es di Greenland dan Antartika. Akibatnya adalah perubahan iklim yang sangat signifikan.
Sementara itu, teks abad pertengahan di Eropa menggambarkan terjadinya cuaca mengerikan yang kemudian diikuti dengan tahun 1258 tanpa musim panas. Pada musim itu sangat dingin, dan hujan turun tak henti-hentinya, serta menyebabkan banjir di mana-mana.
Para arkeolog baru-baru ini mencatat bahwa pada tahun 1258 ditemukan kerangka ribuan orang yang dikuburkan secara massal di London.
"Kita tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa dua peristiwa tersebut terkait, tetapi yang pasti telah terjadi tekanan terhadap populasi," kata Prof Lavigne.
Dibandingkan dengan letusan gunung berapi lain di Indonesia yang terjadi kemudian, para ahli percaya bahwa letusan Samalas setidaknya sebesar letusan Gunung Krakatau (1883) dan Gunung Tambora (1815). (bbc.co.uk)
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...