Skizofrenia Bukan Gila
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Skizofrenia adalah gangguan mental yang umumnya muncul pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Namun, ia dapat muncul setiap saat dalam kehidupan. Ini adalah salah satu dari banyaknya penyakit otak. Penyakit ini dapat meliputi delusi, kehilangan kepribadian, kebingungan, agitasi, penarikan sosial, psikosis, dan perilaku aneh.
Kata skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, skhizein berarti untuk membagi dan kata Yunani phrenos atau phren yang berarti diafragma, hati, pikiran, jiwa. Pada 1910, psikiater Swiss, Eugen Bleuler (1857-1939) menciptakan istilah skizofrenia dalam sebuah kuliah di Berlin pada 24 April 1908.
Berdasarkan Medical News Today, skizofrenia adalah gangguan otak yang rumit, kronis, parah, dan melumpuhkan serta terjadi pada sekitar 1% dari seluruh orang dewasa secara global. Para ahli mengatakan skizofrenia terdiri dari banyak penyakit yang menyamar sebagai satu penyakit. Penelitian juga menunjukkan skizofrenia mungkin merupakan hasil dari kerusakan saat perkembangan saraf di otak janin, yang di kemudian hari muncul sebagai penyakit yang bagaikan sebuah ledakan.
Kondisi Mental Penderita
Skizofrenia paling sering menyerang pada usia produktif antara 15 sampai 25 tahun, dan sekitar 25-35% terjadi pada perempuan. Dalam banyak kasus skizofrenia, gangguan berkembang sangat lambat sehingga penderita tidak tahu bahwa ia memiliki penyakit tersebut dalam waktu yang lama. Sementara, pada beberapa orang lainnya gejala dapat menyerang dengan tiba-tiba dan berkembang dengan cepat.
Individu dengan skizofrenia mungkin mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak ada, bahkan mengalami waham (keyakinan yang salah). Beberapa mungkin yakin bahwa orang lain membaca pikiran mereka, mengontrol bagaimana mereka berpikir, atau berencana melawan mereka. Hal ini menyebabkan distres berat pada pasien, yakni kondisi dimana stres berdampak negatif dan dapat menghancurkan. Ini terjadi terus-menerus dan membuat mereka menarik diri (misalnya menghindar ataupun kabur dari rumah) dan panik.
Orang lain mungkin merasa sulit untuk memahami apa yang penderita skizofrenia bicarakan. Dalam beberapa kasus, individu dapat menghabiskan berjam-jam untuk benar-benar diam, tanpa bicara. Pada kesempatan lain ia mungkin tampak baik-baik saja, sampai mereka mulai menjelaskan apa yang sebenarnya mereka pikirkan.
Dianggap Kesurupan
“Karena saya suka teriak, ngamuk, marah-marah sendiri, waktu itu satu-satunya penjelasan, ya, saya dianggap kesurupan,” ujar Eriva, salah satu penderita skizofrenia.
Saat mengalami delusi, halusinasi, atau paranoid, penderita merasa seperti ada pihak lain di hadapannya yang mengancamnya, meski pada kenyataannya itu tidak benar. Maka ia bisa bicara sendiri, teriak, menangis, atau bahkan mengamuk, itulah yang dialami Eriva sejak sekolah dasar.
Besar dari keluarga pas-pasan di Jakarta, orang tuanya berkali-kali membawanya ke berbagai sumber nonmedis. Orang pintar, tabib di segala penjuru dikunjungi demi kesembuhan Eriva, beitu pula segala macam jamu dan jampi dicoba.
“Tiap kumat saya dilumuri ramuan bawang putih seluruh badan, sampai sekarang saya masih ingat rasa pahit dan panasnya,” kata ibu dari empat orang anak ini.
Stigma Orang Gila
Masyarakat kita cenderung memberi stigma orang gila pada penderita skizofrenia. “Gangguan jiwa berat artinya penderita mengalami gangguan dalam fungsi sosial dengan orang lain, serta dalam hal fungsi kerja sehingga tidak produktif,” kata Dr. Tun Kurniasih Bastaman, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia.
Kebanyakan orang Indonesia cenderung menyederhanakan pengertian tersebut dengan menyebut penderitanya sebagai ‘gila’, karena adanya dampak penderita yang kerap berubah temperamen dalam waktu singkat.
“Informasi tentang kesehatan jiwa lambat berkembang karena kentalnya stigma di tengah masyarakat kita tentang anggapan gila. Orang malas cari informasi yang benar tentang penyakit ini, karena belum-belum sudah dicap, oh itu orang gila,” kata dokter yang juga berpraktek di Rumah Sakit Jiwa Dharmawangsa ini.
“Informasi baru diketahui sampai biasanya setelah penderita atau orang terdekatnya mencari-caari jawaban kesana-kemari, dan bisa berlangsung bertahun-tahun setelah menguras kesehatan, waktu dan biaya,” tambahnya.
Dengan 237 juta penduduk, Indonesia saat ini memiliki 616 psikiater, atau dengan kata lain seorang ahli jiwa untuk 400.000 penduduk. Ini sangat jauh dari perbandingan ideal layanan kesehatan mental, yakni 1 psikiater untuk 30.000 penduduk, berdasarkan laporan BBC Indonesia 2011.
Dampak Sosial
Skizofrenia tidak hanya mempengaruhi penderita, tetapi juga keluarga, teman dan masyarakat. Orang-orang dengan skizofrenia akan sangat bergantung pada orang lain, karena mereka tidak dapat melakukan pekerjaan ataupun merawat untuk diri mereka sendiri.
Menurut Institut Kesehatan Mental Nasional di AS (NIMN), pengobatan dapat membantu meringankan banyak gejala skizofrenia. Namun, mayoritas pasien dengan gangguan tersebut harus mengatasi gejala seumur hidupnya. Tapi ini tidak berarti bahwa orang dengan skizofrenia yang menjalani pengobatan tidak dapat menjalani hidup dengan bahagia, produktif dan bermakna bagi dirinya atau komunitasnya (skizofrenia.co.id).
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...