Libanon, Negara dalam Krisis Ekonomi dan Paling Padat Pengungsi
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM - Badan Pengungsi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengingatkan bahwa Libanon berada pada tekanan besar arus pengungsi. Di negara itu, jumlah pengungsi mencapai 25 persen dari jumlah penduduk setempat. Sementara itu banyak pengungsi kelaparan dan hidup tak lebih dengan satu dolar sehari.
Pengungsi terbesar di Libanon berasal dari tetangganya Suriah akibat perang yang memasuki tahun keempat. Jumlah pengungsi asal Suriah di negeri itu mencapai satu juta orang, dan membuat tekanan besar bagi penduduk setempat.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memperkirakan bahwa Lebanon telah menjadi negara dengan konsentrasi pengungsi per kapita tertinggi di seluruh dunia, dan harus berjuang mengatasi krisis yang tidak menunjukkan ada tanda-tanda berkurang.
Pengungsi Suriah di negara ini sekarang sama dengan seperempat dari populasi penduduk Libanon, kata UNHCR.
"Masuknya jutaan pengungsi akan terasa masif di negara manapun. Bagi Libanon, sebuah negara kecil yang juga dilanda kesulitan internal, dampak (pengungsi) sangat mengejutkan," kata Kepala UNHCR, Antonio Guterres.
Badan itu mencatat sekitar 2.500 pengungsi barui dari Suriah masuk ke Libanon setiap hari. UNHCR memperingatkan arus pengunsi ke Libanon makin besar. Pada April 2012, ada 18.000 pengungsi Suriah di Libanon, hingga April 2013 menjadi 356.000 orang, dan sekarang menjadi satu juta orang.
"Rakyat Libanon telah menunjukkan kemurahan hati yang nyata, tetapi mereka berjuang untuk mengatasi berbagai masalah. Libanon menjadi pernampung pengungsi dengan konsentrasi tertinggi dalam sejarah. Kita tidak bisa membiarkan hal itu menjadi beban yang mereka pikul sendirian," kata Guterres.
Sejak konflik meletus dari protes di ibu kota Suriah, Damaskus pada tahun 2011, UNHCR memperkirakan hampir 2,5 juta warga Suriah terdaftar sebagai pengungsi di Libanon, Turki, Yordania, Irak dan Mesir.
Libanon sendiri mengalami guncangan ekonomi yang serius akibat penurunan dalam perdagangan, pariwisata dan investasi, serta peningkatan belanja publik. Namun harus berjuang mengatasi peningkatan belanja untuk pelayanan publik.
Bank Dunia memperkirakan bahwa krisis Suriah menyebabkan Libanon kehilangan sekitar US$ 2,5 milyar dari kegiatan ekonomi tahun lalu. Upah turun karena pasokan tenaga kerja meningkat, dan banyak keluarga berjuang untuk memenuhi kebutuhan. Krisis itu mengancam sekitar 170.000 orang Libanon yang jatuh miskin pada akhir tahun ini.
Di seluruh negeri, banyak kota dan desa sekarang dihuni lebih banyak orang Suriah daripada orang Libanon. Hal itu menyebabkan kritis infrastruktur, fasilitas sanitasi, persediaan air, pengelolaan sampah, klinik dan rumah sakit.
Dengan 400.000 anak yang merupakan setengah populasi pengungsi di Lebanon, mereka memenuhi sekolah umum di Libanon. Sekolah-sekolah ini telah membuka pintu bagi sekitar 100.000 pengungsi, namun daya tampungnya sangat terbatas.
1 Dolar Sehari
Sementara itu, Chriatian Science Monitor melaporkan bawa banyak pengungi Suriah di Libanon yang mengalami kelaparan dan hidup dengan satu dolar Amerika Sertikat (Rp 11.300) per hari. Menia ini melaporkan kisah tentang Miriam Abdulkader yang membakar diri di depan gedung PBB di Tripoli, Libanon pekan lalu, akibat fruistrasi.
Miriam Abdul Kadermengatakan bahwa satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah memberi makan bagi keempat anaknya.
Sejak melarikan diri dari kota Homs di Suriah dua tahun lalu, dia tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah kosong di Tripoli, di Lebanon utara. Untuk tahun pertama, keluarga ini menerima bantuan dari PBB, termasuk US$ 30 per anggota keluarga untuk voucher makanan, tetapi pada musim gugur lalu bantuan terhenti.
Setelah enam bulan tanpa bantuan, keluarga ini hanya punya terlalu sedikit makan untuk anak-anaknya yang sering mengeluh menjadi lemas dan pusing.
"Saya tidak bisa lagi menyaksikan anak-anak saya kelaparan di depan saya," kata Miriam Abdulkader dari sebuah rumah sakit di Tripoli. Dia mengalami luka bakar sekitar 70 persen pada tubuhnya. Perban menutupi dia dari kepala sampai kaki. Dia berbicara melalui telepon dari balik dinding kaca di ruang steril.
Dia adalah salah satu dari ribuan pengungsi yang tahun lalu tidak menerima lagi bantuan dari badan-badan PBB, akibat bantuan diarahkan bagi pengungsi paling rentan. Sekitar 30 persen keluarga pengungsi tidak lagi menerima bantuan keuangan.
Miriam Abdulkader mengatakan bahwa dia empat kali mendatangi kantor PBB untuk mengajukan banding, tetapi tidak berhasil. Gagal setelah kali kelima, dia membeli bensin seharga US$ 1,25 di pnggir jalan. Dia menyirami dirinya dengan bensin dan membakar diri. "Saya merasa diharapkan untuk meninggalkan kehidupan ini," kata dia.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...