Thailand: Separatis Selatan Targetkan Wanita
THAILAND, SATUHARAPAN.COM – Sejak Februari 2014, Human Rights Watch (HRW) menyatakan bahwa kelompok separatis di provinsi perbatasan selatan Thailand ini telah menewaskan sedikitnya lima perempuan penganut Buddha Thai dan memutilasi tiga mayat mereka.
Para pemberontak harus segera mengakhiri serangan mereka yang menargetkan warga sipil yang bisa disebut sebagai kejahatan perang.
“Pemberontak wilayah selatan membunuh wanita penganut Buddha dan menyebarkan teror dengan memenggal kepala dan membakar tubuh mereka,” kata Brad Adams, direktur HRW Asia. “Klaim yang dilontarkan oleh kelompok separatis bahwa mereka membalas pelanggaran yang dilakukan pemerintah bukanlah suatu pembenaran ketika mereka menyerang warga sipil.”
Pada Rabu (2/4), gerilyawan menyerang sebuah truk pickup di mana kepala desa dari distrik Bannang Sta provinsi Yala mengendarai mobil itu dan mereka membunuhnya bersama dengan dua wakil kepala yang adalah perempuan. Peluru memenuhi tubuh Ear Sitrong (47), kepala desa Ban Kasung Nai Moo 6 ditemukan di dekat mobil pickup tersebut. Chaleaw Pikulklin (50) dan Urai Thabtong (47) yang turut serta dengan mereka juga telah ditembak dengan senapan serbu M16.
Urai telah dipenggal kepalanya dan polisi menemukan kepalanya berada di semak-semak di seberang jalan. Sebuah selebaran yang tertinggal di lokasi kejadian menyatakan, “Serangan ini adalah hukuman karena membiarkan Aor Sor (milisi Desa Kementerian Dalam Negeri) melakukan pembunuhan dan penindasan terhadap orang-orang Melayu kami. Bebaskan Pattani!!”
Sejak Januari 2004, provinsi perbatasan selatan Thailand Pattani, Yala dan Narathiwat telah menjadi ajang konflik bersenjata brutal yang telah merenggut nyawa ribuan warga sipil dari kedua etnis Buddha Thai dan populasi Muslim etnis Melayu.
Pada 20 Maret 2014 lalu, pemberontak menembak dan membunuh Somsri Tanyakaset (39) seorang guru perempuan di Kok Muba Sekolah Persahabatan di distrik Tak Bai provinsi Narathiwat saat dia sedang mengendarai sepeda motornya untuk kembali ke rumah. Guru lain yang adalah seorang perempuan, Siriporn Srichai (43) ditembak mati saat akan bekerja di Tabing Tinggi Community School di distrik Mayo provinsi Patanni pada 14 Maret lalu.
Para penyerang menuangkan bensin di tubuh Siriporn dan membakarnya. Sebuah selebaran menyatakan,”Serangan ini adalah balas dendam atas pembunuhan orang yang tidak bersalah,” ditemukan di dekat tubuhnya.
Pada 12 Februari lalu, pemberontak di distrik Yaring provinsi Pattani menembak mati Sayamol Sae Lim (29), seorang karyawan perempuan dari Bank Bangkok, dan membakar tubuhnya. Sebuah pesan tertulis ditujukan kepada Kepala Staf Angkatan Darat , Jenderal Prayuth Chan-ocha, menyatakan, “Kepala militer yang terhormat, ini bukan mayat yang terakhir setelah tiga mayat bersaudara yang mati.” Pesan ini merujuk pada peristiwa 3 Februari lalu, serangan yang diduga dilakukan oleh Taharn, tentara pasukan paramiliter Pran yang menewaskan tiga saudara Melayu-Muslim masing-masing berusia 6, 9, dan 11 tahun dan melukai orangtua mereka di distrik Bacho provinsi Narathiwat.
Hukum internasional kemanusiaan atau hukum perang yang melibatkan pertempuran di Thailand Selatan melarang serangan yang menargetkan warga sipil, termasuk pejabat pemerintah yang tidak terlibat dalam operasi militer. Perbuatan yang dilarang lainnya, termasuk serangan balasan terhadap warga sipil dan penempur yang tertangkap, eksekusi tahanan, dan mutilasi atau penganiayaan terhadap mayat tersebut. Hukum perang juga melarang tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil.
Pemberontak mengatakan bahwa dalam hukum Islam mengizinkan serangan terhadap warga sipil dalam keadaan tertentu dan tidak mengubah kewajiban hukum internasional kelompok separatis. Serangan berkembang sangat pesat terhadap warga sipil oleh Pejuang Kemerdekaan Pattani (FPI)setelah mereka lepas jaringan dari separatis Koordinat Depan Revolusi Nasional (BRN-Coordinate) yang bertugas untuk meningkatkan kepedulian separatis untuk keamanan sipil.
Menurut statisik dari pemerintah Komando Operasi Keamanan Dalam Negeri (ISOC), kelompok separatis bertanggung jawab untuk sebagian besar insiden kekerasan di provinsi perbatasan selatan Thailand antara Januari 2004 dan Maret 2014 yang mengakibatkan kematian 5.448 jiwa dan 10.118 luka-luka. Warga sipil –baik etnis Thai Buddha dan Muslim Melayu telah sering menjadi target serangan pemberontak.
Kedua gerilyawan dan pasukan keamanan Thailand telah bertanggung jawab atas pelanggaran yang serius di provinsi perbatasan selatan. Berturut-turut pemerintah Thailand telah gagal untuk mengadili setiap anggota pasukan keamanan atau milisi pro-pemerintah atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penghilangan paksa. Kurangnya keadilan telah memberi kebebasan gerilyawan terhadap warga sipil.
Perdana Menteri, Yingluck Shinawatra telah berulang kali menyatakan bahwa keadilan adalah kunci untuk perdamaian di provinsi perbatasan selatan. Namun, pemerintah terus memperpanjang keadaan darurat yang secara kejam memfasilitasi pelanggaran yang disponsori negara dan impunitas. Kekuasaan yang luas dan kekebalan terhadap hukum diberikan kepada aparat keamanan yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia mengakibatkan kemarahan dan keterasingan dalam komunitas etnis Muslim Melayu.
HRW menegaskan kembali seruannya bagi penyelidikan yang kredibel dan imparsial atas tuduhan pelanggaran hukum humaniter dan HAM internasional oleh petugas keamanan dan pasukan milisi di selatan. Pertanyaan oleh polisi dan Pusat Administrasi Provinsi Perbatasan Selatan telah berjalan dengan sangat lambat, dengan sedikit hasil yang konkret. Petugas sering gagal untuk menjaga keluarga korban, memberitahu perkembangan penyelidikan dan menjaga keluarga korban dari frustasi. Sementara dalam beberapa kasus pemerintah memberikan kompensasi berupa uang kepada keluarga korban, namun uang tidak bisa dianggap sebagai pengganti keadilan.
“Orang-orang di Thailand selatan terjebak antara kekerasan gerilyawan dan pelanggaran yang dilakukan oleh negara,” kata Adams. “Pemerintah harus memahami bahwa melindungi pasukan kasar dari tuntutan memperkuat garis keras dalam kelompok separatis adalah sama halnya dengan mengintensifkan kekejaman terhadap warga sipil.” (hrw.org)
Editor : Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...