Limbah B3 Diolah Jadi Batu Bata Ramah Lingkungan
SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – Di Indonesia, permasalahan pencemaran lingkungan seolah tak ada habisnya, terutama masalah pencemaran limbah beracun dan berbahaya (B3).
Salah satu cara mengatasi pencemaran limbah B3 itu dengan konsep green technology, menjadikan limbah B3 sebagai bahan baku batu bata tanpa pembakaran. Melalui berbagai pengujian, batu bata dari limbah B3 ini memiliki kualitas standar, murah, praktis, dan ramah lingkungan.
Hal itu dibuktikan tiga mahasiswa prodi Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, yaitu Sri Eka Dewi F Sukarelawati, Vindi E Fatikasari, dan Wildani Mahmudah, melalui penelitian mereka. Laporan mereka dalam judul “Potensi Limbah B3 Iron Slag sebagai Bahan Baku Batu Bata dengan Konsep Green Technology”, lolos seleksi dan memperoleh hibah penelitian Kemenristekdikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2018 untuk bidang penelitian eksakta (PKMPE).
Penelitian mahasiswa FST Unair itu, dilakukan berangkat dari aksi long march warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto yang menyuarakan dugaan pencemaran limbah B3 oleh sebuah perusahaan pengolah limbah B3. Mereka melapokan kepada gubernur Jawa Timur.
Menurut Sri Eka Dewi FS, ketua tim PKMPE Unair ini, limbah B3 merupakan zat sisa suatu usaha/kegiatan yang karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya, baik langsung dan tidak langsung dapat mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Jika tidak dilakukan pengolahan, limbah B3 dapat mengubah kualitas lingkungan. Pengolahan dimaksud adalah proses mengubah jenis, jumlah, dan karakteristik limbah menjadi tidak berbahaya dan tidak beracun.
Teknologi dalam penelitian Sri Eka Dewi dan kawan-kawan ini adalah stabilisasi-solidifikasi, untuk mengurangi dan menghilangkan karakteristik limbah B3 agar tidak berbahaya.
Salah satunya mengolahnya menjadi batu bata, yang pembuatannya tidak melalui pembakaran. Sebab pembakaran batu bata menggunakan kayu bakar atau batu bara juga menimbulkan masalah lingkungan tersendiri, yaitu polusi udara akibat timbulnya gas karbondioksida (CO2) yang tidak ramah lingkungan.
Selain itu, pembuatan batu bata tanpa pembakaran dapat mengurangi biaya pembuatannya, tidak berketergantungan dengan cuaca, namun menghasilkan produk dengan kualitas standar, murah, praktis dan ramah lingkungan. Dengan konsep green technology tanpa pembakaran, maka dalam pembuatannya dilakukan dengan menambahkan kapur, semen, dan soil hardener powder. Bahan tambahan itu berfungsi untuk memadatkan bata dan mempercepat waktu pengeringan.
Sri Eka Dewi menambahkan, penelitian ini merupakan inovasi dari beberapa penelitian sebelumnya yang mengolah limbah B3 iron slag menjadi batako.
Selain itu, mengolah B3 iron slag menjadi batu bata merah karena pembuatannya lebih mudah dari pada jenis bata lainnya. Selain iron slag juga terdapat bahan sludge kertas sebagai perekat dalam pembuatan batu bata ini.
”Kami sudah melakukan pengujian kualitas atas hasil batu bata ini dengan serangkaian pengujian. Di antaranya uji pandangan luar, uji ukuran dan toleransi, uji kuat tekan, uji garam yang membahayakan, uji kerapatan semu, uji penyerapan air, dan uji TCLP dengan variasi bahan yang digunakan yaitu campuran antara iron slag, sludge kertas dan bahan pemadat,” kata Sri Eka Dewi, mahasiswi angkatan 2014 ini.
Berdasarkan eksperimen dalam penelitian ini ditemukan tiga variasi terbaik, dengan nilai kandungan logam berat Zn yang berbahaya, setelah proses stabilisasi-solidifikasi ditemukan nilainya di bawah baku mutu berdasarkan ketetapan PP No101 Tahun 2014.
”Jadi hal ini membuktikan bahwa hasil penelitian PKM-PE kami ini aman untuk dimanfaatkan secara internal, oleh pihak penghasil limbah dan pihak pengolah limbah, sebagai solusi pengurangan timbunan limbah di landfill,” kata Sri. (unair.ac.id)
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...