Logo Baru Jogja Dinilai Tak Akomodatif
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) memperkenalkan logo baru (Jogja) Yogyakarta untuk menggantikan logo yang lama. Tak hanya logo, tagline Yogyakarta sebagai “Never Ending Asia” juga turut diganti dengan “New Harmony”. Namun, usai diperkenalkan ke publik, logo dan tagline baru tersebut menuai banyak komentar. Salah satunya adalah tidak akomodatif.
Masyarakat, desainer, dan ahli desainer visual banyak yang menilai logo baru Yogyakarta kurang mewakili nilai-nilai yang ada di Kota Gudeg tersebut, seperti nilai tradisional dan keraton. Selain itu, pembuatan logo juga dinilai kurang mewadahi aspirasi masyarakat karena dibuat tanpa mengikutsertakan warga Yogyakarta, melainkan hanya dipercayakan kepada tim konsultan yang dipimpin Hermawan Kertajaya.
“Identitas Yogyakarta adalah keraton. Yogyakarta identik dengan keraton, jadi suka atau tidak, sebuah logo baru harus memasukkan unsur keraton. Salah satu unsur tersebut adalah warna hijau atau hijau pare anom (hijau muda),” kata Sumbo Tinarbuko, Dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada Kamis (30/10).
Menurut Sumbo, logo yang dibuat dengan alasan merupakan akulturasi antara sisi tradisional dan modern tersebut, justru lebih cenderung menampilkan sisi modernnya. Hal itu tak lepas dari dominasi pemilihan warna pink yang lebih cenderung pop dan karakter huruf yang dinilai lebih tepat jika dipasang di surat kabar.
“Logo lama cukup mewakili keraton karena menggunakan warna hijau. Tapi untuk logo yang baru sangat berbeda kesannya. Bentuk tulisan dalam logo baru tersebut sebenarnya cocok jika dipasang di sebuah majalah atau surat kabar tapi kurang sesuai jika menjadi branding sebuah kota yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional. Saya justru melihat adanya kecenderungan ke arah nilai konsumtif dari pemilihan huruf yang justru menuju ke arah branding hotel,” ujar Sumbo.
Terkait dengan tagline, Sumbo menilai penggunaan kalimat dalam bahasa Inggris dinilai kurang tepat. Namun, wilayah yang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan unsur keraton akan lebih tepat jika menggunakan tagline dalam bahasa Jawa atau setidaknya bahasa Indonesia.
“Yogyakarta memang sebuah daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, namun kini tengah beranjak menuju ke arah modernitas. Meski demikian, nilai-nilai tradisional tetap tidak bisa ditinggalkan atau dihilangkan begitu saja. Sebab, unsur-unsur itulah sebenarnya yang membentuk Yogyakarta menjadi istimewa,” Sumbo memaparkan.
Pembuatan logo dan tagline baru Yogyakarta, tampaknya akan terus menuai komentar beragam. Hal tersebut tak lepas dari kesan adanya upaya untuk tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Yogyakarta terkait dengan brand terbaru bagi daerahnya. Pemerintah terkesan meninggalkan warga Yogyakarta untuk urun rembug (bertukar pikiran). Pemikiran, nilai tradisional, dan aspirasi warga inilah yang merupakan spirit sesungguhnya dari logo yang nantinya akan dipakai di seluruh wilayah Yogyakarta.
Logo dan tagline baru Yogyakarta pertama kali dikenalkan ke publik pada Selasa (28/10) dalam acara yang bertajuk “Urun Rembug Logo Baru Jogja, The New Jogja: Rebranding Initiative”. Acara yang dihelat di Atrium Ambarrukmo Plaza tersebut dihadiri sejumlah tokoh, seperti Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, para bupati dan wali kota se-DIY, serta sejumlah seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...