LPSK Diminta Lindungi Saksi Korban Kekerasan Paniai
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Dewan Adat Daerah Paniai John Gobay meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi saksi dan korban kekerasan di Enarotali, kabupaten Paniai, Papua, 8 Desember 2014.
"Saya sebagai Ketua Dewan Adat Daerah Paniai menyampaikan terlebih dahulu bahwa dewan adat meminta LPSK untuk melindungi para saksi dan korban dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Paniai, 8 Desember 2014," kata John Gobay ketika dihubungi dari Kota Jayapura, Papua, Selasa (20/1).
Permintaan itu, kata dia, dilakukan pada hari Senin (19/1) sekitar pukul 14.30 WIT yang diterima langsung oleh staf Riyanto W.
"Jadi, saya melaporkan tentang peristiwa, kronologis, dan hal-hal lainnya ke LPSK, dan mereka menerima serta memberikan surat tanda terima laporan," katanya.
Hanya saja, kata Gobay, pihaknya diminta melengkapi sejumlah persyaratan oleh LPSK untuk permintaan perlindungan saksi dan korban.
"Kami diberi waktu dua pekan untuk melengkapi persyaratan yang dimaksud. Hal itu akan segera saya penuhi dengan harapan para saksi dan korban bisa segera terlindungi oleh lembaga tersebut," katanya.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, kata John Gobay, berkewajiban melindungi WNI yang sedang mempunyai masalah, terutama masalah yang melibatkan hajat orang banyak dalam kasus kekerasan di Paniai yang terindikasi terjadi pelanggaran HAM berat.
"Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ini kan institusi yang disiapkan negara untuk berikan perlindungan, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dengan UU 12/2004," katanya.
John Gobay menegaskan bahwa LPSK sebagai institusi negara Indonesia dibentuk untuk melindungi saksi dan korban dengan harapan agar mereka (saksi dan korban) tidak merasa takut dalam memberikan laporannya.
Biasanya, menurut dia, kalau ada orang yang akan melemahkan posisi pelaku, kadang-kadang ada ancaman, kadang-kadang ada SMS yang meneror saksi dan korban dari pihak tidak bertanggung jawab.
"Hal ini kan biasa terjadi pada kasus yang lain. Saya tidak mau, dalam kasus Paniai ini, masyarakat juga mengalami kasus yang sama, di-SMS teror, isinya intimidasi, atau pada saat diperiksa diminta keterangan dia merasa diintimidasi secara psikis atau fisik," katanya.
"Nah, itu yang kami minta kepada LPSK untuk perlindungan. Ini kan (kekerasan Paniai) yang melibatkan kedua unsur, TNI dan Polri. TNI itu baik AD dan AU, jadi kami persis terkurung dalam kedua institusi ini, jadi ini ibarat berhadapan dengan institusi TNI dan Polri, kami kan tidak punya senjata, secara psikis dan mental kita tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti," lanjutnya.
Apalagi, kata pria berbadan subur itu, Polri telah bentuk tim pencari fakta, sementara Komnas HAM telah membentuk tim penyelidikan terhadap kasus Paniai sehingga dikhwatirkan ada persoalan di lapangan saat melakukan pengambilan dan pengumpulan data serta informasi.
"Jadi, ini penting untuk kita meminta mereka (LPSK) untuk berikan perlindungan. Maksud saya, ketika tim dari Komnas HAM turun ke Paniai agar LPSK bisa sama-sama sekalian memberikan perlindungan secara fisik kepada para korban dan saksi-saksi yang akan memberikan keterangan karena masalah ini sangat sensitif. Jadi, harus didampingi oleh LPSK, kalau didampingi sama John Gobay, nanti mereka (Polri) bilang siapa ini?" katanya.
Pada tanggal 8 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, terjadi kerusuhan yang berawal dari masalah lalu lintas itu hingga menyebabkan warga melakukan aksi pemalangan di ruas jalan Enarotali. Namun, saat palang dibuka, warga menyerang pos koramil hingga akhirnya ditemukan empat orang meninggal dan belasan lainnya luka-luka.
Keempat korban yang meninggal tertembak itu masing-masing Yulian Yeimo, Simon Degei, Alpius Gobay, dan Alpius Youw. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...