Mahasiswa UGM Ciptakan Alat untuk Bantu Petani Tambak Udang
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dua orang Mahasiswa Fakultas Teknik UGM, Ridwan Wicaksono dan Imaduddin Madjid berhasil menang Kompetisi Teknologi dan Inovasi Internasional, The American Society of Mechanical Engineers (ASME) Innovation Showcase, di India pada (19/4-21/4) lalu. Kompetisi yang diiikuti 55 tim dari berbagai perusahaan, komunitas dan mahasiswa.
Tim mahasiswa UGM yang menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia ini lolos masuk 12 besar, berhasil jadi pemenang bersama dua pemenang lainnya dari perusahaan asal India. Selain mendapat penghargaan, pemenang kompetisi ini mendapat hadiah berupa uang senilai 15 ribu dollar Amerika atau sekitar Rp 200 juta.
Saat bincang-bincang dengan wartawan, Rabu (6/5), Ridwan dan Imaduddin mengaku tidak menyangka jika alat yang mereka ciptakan akan menang dalam kompetisi internasional, yang diikuti berbagai perusahaan teknologi.
Pasalnya alat tersebut dibuat kurang lebih tiga bulan, yang awalnya sengaja diperuntukan untuk membantu petani tambak udang di pantai parangkusumo Bantul.
Petani tambak di pantai selatan Jawa tersebut mengeluh, karena mengalami kerugian cukup besar akibat banyak udang vaname yang mati sebelum berhasil dipanen. Padahal udang tersebut umumnya dijual untuk ekspor.
“Kita diundang bagaimana cara mengatasinya,” kata mahasiswa S2 Teknik elektro UGM ini saat ditemui di ruang Fortakgama, kantor pusat Universitas Gadjah Mada.
Meski para mahasiwa ini tidak memiliki pengetahuan luas dalam bidang perikanan, Ridwan bersama dengan rekan mahasiswa lainnya yang berjumlah sekitar 10 orang akhirnya berdiskusi, untuk memecahkan masalah yang dihadapi petani dengan difasilitasi salah satu perusahaan yang bergerak di bidang agrikultur.
Hingga akhirnya, penyebab kematian udang diketahui akibat keterlambatan petani dalam mengetahui kondisi abnormal air kolam. Apabila kolam tambak udang tersebut kekurangan oksigen, kelebihan kadar garam, amonia dan logam berat maka berisiko banyak udang yang mati. Padahal petani biasanya hanya mengecek secara manual, misalnya untuk oksigen, mereka hanya mengetahui dari menyaksikan udang-udang yang muncul ke permukaan, “Udang yang sudah naik ke permukaan kolam itu sebenarnya tanda sudah terlambat untuk bisa diatasi ,” kata laki-laki kelahiran Sleman 24 tahun lalu ini.
Setelah mengetahui penyebab kematian udang, Ridwan yang pernah meraih medali perunggu dalam kontes robot tingkat internasional di Korea 2012 lalu, mencoba menggunakan pengalaman dan pengetahuannya dalam membuat alat mikrokontroler dan sensor.
Ia bersama teman-temannya berhasil mendesain alat yang mereka namakan Blumbang Reksa yang artinya kolam sejahtera. Alat yang sekilas mirip kotak nasi yang biasa dibawa anak TK ini, hanya menghabiskan dana sebesar Rp 10 juta dalam proses pembuatannya. Menurut Imadudin, alat ini difungsikan untuk mendeteksi kondisi abnormal air kolam.
Alat yang berukuran 15x10 cm dengan berat kurang lebih 500-an gram ini, memiliki enam sensor yang mengukur tingkat temperatur, kelembaban, tingkat keasaman (pH), kadar oksigen, salinitas (kadar garam) dan kadar logam berat.
“Dari sensor itu itu dibaca oleh mikrokontroler, lalu datanya diolah dan diunggah ke internet agar bisa diunduh di smartphone milik petani masing-masing. Mereka tinggal login. Bagi petani yang tidak punya smartphone cukup dengan sms dengan teknologi broadcast,” kata mahasiswa program sarjana teknik elektro angkatan 2012 ini.
Dengan alat tersebut, kata Imaduddin, kondisi air kolam bisa dibaca secara real time oleh petani. Bahkan petani bisa bertindak segera untuk memberikan perlakuan pada kolamnya saat kondisi abnormal agar udang peliharaannya tidak segera mati. “Petani bisa ambil langkah cepat dan tidak telat,” katanya.
Imaduddin mengatakan, usaha tambak udang vaname di lahan pasir Bantul berorientasi ekpor ke Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat, sehingga bisa memberikan keuntungan bagi petani. Namun apabila mendapatkan udang yang mati saat dipanen maka petani akan mengalami kerugian yang cukup besar. Imaduddin mengatakan, untuk tambak uang yang tradisional umumnya tingkat kematian mencapai hingga 50 persen, sedangkan untuk pemelihraan kolam secara intensif tingkat kematian hanya mencapai 20 persen. Dengan alat Blumbang Reksa, diharapkan bisa meningkatkan produktivitas hasil tambak.
Meski demikian, kata Ridwan, pihaknya akan terus mengembangkan desain alat tersebut. Tidak hanya itu, mereka tidak hanya berpuas diri hanya memenangkan komptisi, namun terus menyosialisasikan dan mengenalkan alat tersebut ke petani tambak di Bantul, Cirebon dan Pangadaran, Ciamis. Dengan harapan alat tersebut nantinya bisa diproduksi massal dengan harga yang lebih terjangkau untuk petani. “Kita harapkan petani tambak makin sejahtera dan ekspor udang kita makin meningkat,” kata Ridwan. (ugm.ac.id)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...