Mantan WNI, Bukan Mantan ISIS
SATUHARAPAN.COM-Ada banyak pembicaraan belakangan ini tentang rencana dan keinginan pulang sejumlah orang yang menjadi bagian dari ISIS (Islamic State of Iraq and Syria atau Negara Islam Irak dan Suriah). Secara umum, terutama pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak punya rencana untuk pemulangan mereka.
Di kalangan masyarakat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) misalnya, menyatakan menolak kembalinya mereka. Sementara sebagian warga yang peduli dengan hak-hak anak mengusulkan agar anak-anak mereka yang dipulangkan.
Tentang kasus ini, yang melibatkan sekitar 600 orang anggota ISIS di luar negeri, perlu ditegaskan tentang status kewarganegaraan (Indonesia) mereka. Status WNI mereka bukan dicabut oleh pemerintah Indonesia, melainkan mereka yang memutuskan menanggalkan kewarganegaraan Indonesia.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tegas menyebutkan hal itu. Pada Pasal 23 Huruf d disebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.
Mereka telah memilih untuk bergabung dengan sebuah “negara” dan menjalani tugas militer untuk apa yang mereka sebut negara (ISIS). Dengan demikian mereka bukan WNI, atau paling-paling disebut sebagai mantan (eks) WNI.
Tentang ikatan mereka dengan ISIS, organisasi atau “negara” ini memang telah hancur, namun apakah bisa disebut sebagai tidak ada, karena aksi teror mereka masih terjadi? Bagi Indonesia, yang penting bahwa mereka, setidaknya 600 orang mantan WNI, adalah bagian dari ISIS, meskipun dalam tahanan di luar negeri (Surih utara dan mungkin di Turki).
Dengan demikian, sebenarnya selama ini ada penyebutan yang keliru tentang mereka sebagai WNI eks (mantan) ISIS, sebab yang benar mestinya adalah mantan (eks) WNI anggota ISIS. Soal keanggotaannya di ISIS mereka bisa saja menyatakan telah keluar, tetapi bukti legal apa yang bisa dijadikan dasar?
Sikap Indonesia tentang anggota ISIS tidaklah sendirian. Banyak negara juga menyatakan bahwa anggota ISIS itu secara hukum di masing-masing negara sudah bukan lagi warga negara mereka, dan itu sebagai tindakan sepihak dari mereka yang bergabung dengan ISIS.
Oleh karena itu, tidak ada kewajiban Indonesia terhadap mereka, karena bukan WNI. Jika mereka ingin ke Indonesia, prosedur dan persyaratan imigrasi akan berlaku, demikian juga kalau mau menjadi warga negara Indonesia, harus melalui prosedur naturalisasi dan membuktikan kesetiaan pada NKRI.
Lantas bagaimana dengan anak-anak mereka? Hal ini sebaiknya dilihat kasus per kasus dan mendasarkan pada UU yang terkait kewarganegaraan. Sebab, ada banyak pemberitaan yang menyebutkan ISIS juga menggunakan anak-anak dalam kekerasan bersenjata. Lagipula, kewarganegaraan anak-anak itu juga hilang ketika mereka bersama orangtua menanggalkan status WNI.
Masalah ini, memang sepenuhnya ditangan mantan WNI itu, dan Indonesia semestinya lebih fokus pada melindungi 260 juta warga negara, ketimbang mereka yang memang bukan WNI. Mereka bahkan sangat mungkin masih menjadi bagian ISIS yang gerakan organisasinya diselubungkan, tetapi sangat berbahaya.
Di sisi lain, mereka sekarang berada dalam tahanan di Suriah utara yang menandai bahwa ada masalah hukum dan pidana yang terkait dengan mereka. Pemerintah otonom di sana juga merencanakan untuk mengadili anggota ISIS asing, dan biarkan proses hukum di sana berjalan.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...