Manusia Paling Utuh
Yang membuat manusia utuh adalah ketika ia memperjuangkan apa yang diyakininya, ketika kata dan perbuatan berjalan paralel.
SATUHARAPAN.COM – Jean Paul-Sartre, filsuf kenamaan Perancis, menolak untuk menerima penghargaan apa pun sepanjang karirnya sebagai penulis. Sartre menjadi orang pertama yang menolak hadiah Nobel di bidang sastra pada 1964. Penghargaan tersebut merupakan salah satu afirmasi betapa monumentalnya karya-karya Satre. Hingga kini, tulisan-tulisannya—seperti Being and Nothingness—masih terus dibicarakan di berbagai tempat di dunia.
Pada 1960 Sartre dan Simone de Beauvoir—yang juga penulis dan peletak fondasi feminisme modern—mengunjungi Ernesto ”Che” Guevara di Kuba. Che—demikian panggilan akrab para sahabatnya—adalah seorang dokter yang menyadari adanya penindasan ekonomi di negara-negara Amerika Latin. Kesadaran Che mengenai penindasan tersebut dialaminya ketika ia melakukan perjalanan panjang menyusuri negara-negara Amerika Latin. Dalam perjalanannya, Che melihat kemiskinan, penyakit, dan penindasan. Ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kemapanannya dan memutuskan bergerilya melawan penguasa-penguasa yang tidak memperhitungkan rakyatnya dalam kebijakan-kebijakan ekonomi.
Sekembalinya ke Perancis setelah pertemuan itu, Jean Paul-Sartre menulis beberapa artikel berisi kekagumannya pada Che Guevara. Ia bahkan menyebut Che sebagai The most complete human being of our age ’manusia paling utuh zaman kita’. Ketika ditanya alasannya, Sartre menjawab, ”Karena dia memperjuangkan apa yang diyakininya; kata-kata dan perbuatannya berjalan paralel”.
Ya, bagi Sartre, seseorang disebut manusia seutuhnya ketika ia memperjuangkan apa yang diyakininya; ketika kata-kata yang diucapkan berjalan beriringan dengan perbuatan. Che memang memperjuangkan apa yang diyakininya hingga ia mati ditembak pada 1967. Hingga hari ini keyakinan dan perjuangannya tidak pernah mati karena ia tinggal dalam semangat (spirit) setiap orang yang—telah dan sedang terus—diinspirasi olehnya.
Sebagai insan komunikasi, manusia biasa memproduksi banyak kata setiap harinya—entah yang manis atau pedas menyakitkan. Seandainya ada alat perekam yang dengan otomatis menyalin kata-kata yang keluar dari mulut kita dalam sehari, berapa lembarkah kertas hvs yang dibutuhkan? Mungkin sebagian besar dari kata-kata itu hanya keluar begitu saja tanpa kita memahaminya.
Sering juga kita mengumbar terlalu banyak janji di dalam kata-kata yang terucap, tetapi pemenuhannya tidak pernah terwujud. Kata-kata yang terucap tanpa sejalan dengan perbuatan akan membuat manusia menjadi pribadi yang kurang utuh.
Pernahkah di pengujung hari, kita merasa menyesal dan merasa betapa kurang utuhnya kita? Hari-hari berlalu tanpa kita pernah merasa utuh. Seperti kata Sartre, yang membuat manusia utuh adalah ketika ia memperjuangkan apa yang diyakininya; ketika kata dan perbuatan berjalan paralel.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...