Maraknya Perkawinan Yahudi-Asia Jadi Perbincangan Publik AS
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Sejak pernikahan mereka bulan Mei 2012, pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, dan istrinya, Priscilla Chan, telah menjadi perwakilan tak resmi pasangan Yahudi-Asia/Amerika di AS. Awal bulan ini di berbagai media AS mereka ditampilkan secara mencolok, memeluk putri sulung mereka yang baru lahir, Max. Cerita sebelumnya berkisar tentang perayaan Hanukkah di rumah pasangan itu, dan fakta bahwa Zuckerberg kini sedang belajar bahasa Mandarin.
Fenomena pasangan campuran Yahudi-dan Asia/Amerika telah menjadi lebih umum selama dua dekade terakhir, bersamaan dengan perhatian media terhadap krisis identitas yang dihadapi anak-anak mereka. Bahkan di di kawasan Pantai Barat AS yang terkenal dengan atmosfer multikultural dan intelektual, anak-anak ini tidak selalu disambut oleh komunitas Yahudi.
Sebetulnya belum ada statistik resmi mutakhir tentang seberapa banyak pernikahan Yahudi-Asia/Amerika. Tetapi berita tentang hubungan antara selebriti Yahudi dan Asia/Amerika telah banyak memprovokasi tulisan editorial berbagai media. Dewasa ini sedang populer aplikasi kencan yang diberi nama Coffee and Bagel di kalangan anak muda terdidik di New York. Aplikasi ini memungkinkan pengguna menyatakan ras yang lebih disukainya dalam memilih pasangan. Menurut data dari aplikasi ini, tidak ada kecenderungan pria Yahudi mencari wanita Asia.
Namun, media AS terus saja mengungkap fenomena marak dan kian jamaknya pria Yahudi mencari wanita Asia. Ketika buku yang ditulis oleh Amy Chua, "Battle Hymn of the Tiger Mother," menghebohkan AS, surat kabar New York Times menyebut Cua dan suaminya, Jed Rubensfeld, sebagai jenis "kekuatan pasangan akademis Asia-Yahudi yang memenuhi banyak kota-kota universitas."
Bangga Menjadi JewAsian
Helen Kim dan suaminya Noah Leavitt dari Departemen Sosiologi di Whitman College, baru-baru ini melakukan penelitian tentang hubungan antara Yahudi dan Asia/Amerika. Menjelang penerbitan buku baru mereka, yang disebut "JewAsian - Race, Religion and Identity of American Newest Jews," Kim dalam wawancara dengan Haaretz, yang menjadi sumber berita ini, mengatakan anak-anak dari pasangan campuran tersebut tidak selalu disambut oleh masyarakat asal mereka, bahkan di kota-kota besar.
"Ketika kita berbicara tentang penelitian kami, respon yang terjadi adalah bahwa komunitas Yahudi tampaknya telah menjadi sebuah komunitas ras yang lebih beragam, dan sangat ramah. Tapi saya pikir anak-anak yang telah kami wawancarai akan membantah hal itu. Bahkan komentar kecil yang diarahkan kepada mereka, seperti, 'ha, lucu, Kamu tidak terlihat Yahudi,' yang oleh beberapa orang mungkin dipandang sebagai komentar minor, dari waktu ke waktu bila hal itu terus diucapkan akan menjadi tantangan bahkan penolakan terhadap identitas mereka. Hanya karena populasi Yahudi tampak beragam tidak berarti penduduk Yahudi Amerika telah sepenuhnya bergumul dengan apa makna keragaman, dan anak-anak mereka diterima secara total. Saya pikir masih ada anggapan bahwa orang-orang Yahudi datang dari Polandia, " kata Kim.
Sejak tahun 2010, Kim dan Leavitt telah mengadakan wawancara mendalam dengan 68 pasangan dengan anak-anak mereka serta dengan 39 orang berusia 18-25 yang berasal dari keluarga Yahudi yang menikah dengan keturunan Asia (kebanyakan Jepang-dan Tionghoa-Amerika). Dari kesaksian yang dikumpulkan oleh peneliti, tampak bahwa ketika mereka tumbuh dewasa, anak-anak itu membawa kedua identitas mereka, dan mereka menunjukkan kebanggaan akan asal-usul campuran mereka.
Salah seorang yang diwawancarai, anak dari seorang ibu asal Filipina dan ayah Yahudi, mengatakan, ia sering dianggap bukan anak Yahudi, karena keYahudian diturunkan dari ibu. "Orang-orang mengatakan saya bukan orang Yahudi, sebab tidak masuk hitungan jika darah Yahudi itu diturunkan dari sisi ayah, itu hanya berlaku melalui ibu. Atau jika saya benar-benar ingin menjadi Yahudi, saya harus menjalani upacara konversi Ortodoks - atau hal semacam itu ... Saya masih mengidentifikasi diri saya sebagai Yahudi, bahwa (hanya) setengah saja dari keluarga saya Yahudi, itu tidak terlalu penting. "
Menurut survei itu, anak-anak dari pasangan Yahudi-Asia lebih merasa sebagai orang-orang multiras, sebagai orang Yahudi maupun Asia, ketimbang merasa setengah Yahudi, setengah Asia.
Disebutkan pula bahwa para responden aktif dalam komunitas Yahudi dan akrab dengan tradisi Yahudi di AS. Banyak yang mengatakan bahwa mereka ingin membesarkan anak-anak mereka sebagai orang Yahudi. Beberapa responden sangat berminat menghadiri ibadat Yahudi dan mengamati hukum agama Yahudi, terutama sebagai bagian dari gerakan Reformasi di AS.
Tahun lalu, Angela Warnick Buchdahl, yang latar belakangnya mirip dengan peserta lain dalam survei, menjadi rabi terkemuka di Reform Central Synagogue di New York.
"Anda tahu, pertama kali saya mengatakan kepada orang tua saya, saya ingin menjadi seorang rabi, saya menduga itu akan membuat mereka kesal," kata dia. "Ibu saya, seorang Korea Buddha. (anaknya menjadi rabi) saya pikir itu di luar dunianya. Dan untuk ayah saya, yang bukan seorang Yahudi Reformis, hal yang saya utarakan itu mungkin mengejutkan. Tapi ternyata mereka merasa sangat bangga. Dan saya berpikir saya layak mendapatkan nama 'pelopor' karena menjadi rabi yang pertama berdarah Asia-Amerika. "
Hasil survei Kim dan Leavitt juga menunjukkan bahwa keturunan dari pasangan Yahudi-Asia/Amerika tidak berusaha menyembunyikan identitas mereka di tengah luasnya ekspresi anti-Semitisme di seluruh dunia. Sebaliknya, mereka justru dengan tegas bereaksi menolak bila menghadapi sesuatu yang bersifat rasis. "Ketika seseorang akan mengatakan sesuatu yang rasis, atau anti-Semit, mereka merasa terdorong untuk berbicara melawan hal ini, "kata Kim.
Salah satu rekomendasi dari survei ini kepada mereka yang membesarkan anak-anak dari pasangan campuran adalah tidak usah memberikan prioritas kepada salah satu identitas.
"Mereka selalu mengekspos anak-anak mereka untuk semua aspek jatidiri mereka. Jangan preferensikan satu identitas, pastikan bahwa Anda mengekspos mereka untuk segalanya: menjadi Yahudi, menjadi Korea, menjadi Asia. Pastikan untuk melakukan kerja keras tersebut bahkan di saat-saat ketika mereka mungkin ingin menghindar dari identitas tersebut. Dalam jangka panjang akan ada hasil, karena tidak hanya memberikan mereka rasa dari mana mereka berasal, tapi rasa bangga, " kata Kim.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...