Markus Haluk: Perppu Tak Lemahkan Perjuangan Rakyat Papua
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Anggota Tim Kerja United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Papua, Markus Haluk, mengatakan lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dalam tiga hari terakhir menjadi kontroversi, tidak akan melemahkan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Beberapa kalangan mengkhawatirkan pemerintah dapat mempergunakan Perppu yang secara resmi diumumkan oleh Menko Polhukam, Wiranto, pada hari Rabu (12/07), untuk membungkam kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Salah satunya adalah ULMWP, yang selama ini kerap dilabeli sebagai kelompok separatis, kendati kelompok-kelompok seperti ini mendapat pengakuan dari dalam dan luar negeri.
Namun, Markus Haluk mengabaikan kekhawatiran tersebut. Menurut dia, bagi pihaknya tidak ada bedanya Perppu 2/2017 dengan Perppu lainnya terkait dengan isu separatisme, seperti PP No 77 tahun 2007 tentang bendera lambang daerah.
"Bagi organisasi perjuangan di Papua sudah biasa dengan produk UU Indonesia. Berbagai produk apa pun yang dipakai oleh Indonesia tidak akan pernah melemahkan bahkan membunuh semangat dan perjuangan untuk penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua," kata dia kepada satuharapan.com.
Ia mencontohkan, tahun lalu Kapolda Papua, Irjen Paulus Waterpauw, telah mengeluarkan maklumat untuk pelarangan dan pembubaran organisasi seperti ULMWP, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), (Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).
"Tetapi biasa-biasa saja, aksi damai untuk dukung ULMWP tetap jalan. Malahan ULMWP diakui sebagai observer di Melanesia Spearhead Group (MSG)," kata Markus.
Kendati demikian Markus Haluk mengatakan ULMWP belum memiliki sikap resmi terhadap Perppu tersebut. "Perjuangan tetap jalan," kata dia.
Kekhawatiran bahwa Perppu No 2 tahun 2017 dipakai oleh pemerintah untuk membungkam kelompok yang dianggap separatis serta kelompok minoritas telah disuarakan oleh berbagai pihak. Peneliti Human Rights Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan Perppu ini menjadi ancaman bagi minoritas agama yang sering dituduh sesat maupun mereka yang sering disebut sebagai kelompok separatis seperti di Papua dan Maluku.
Menurut Andreas, separatisme sering secara sederhana dikaitkan dengan orang Maluku atau Papua yang bicara soal merdeka. Pengaitan seperti ini, menurut dia, sudah berlangsung puluhan tahun.
"Persoalan utama di Papua dan Papua Barat adalah rasialisme terhadap orang berkulit hitam, rambut keriting. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Mudah sekali mereka lantas teriak merdeka buat menarik perhatian, buat melampiaskan kemarahan mereka. Repot bukan bila lantas dipenjara dengan tuduhan separatis? Ia akan menambah rumit persoalan di sana," kata Andreas Harsono.
Andreas menambahkan, kelompok-kelompok yang dilabeli separatis ini, seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku dan ULMWP di Papua dan Papua Barat, secara hukum internasional tidak sinifikan. Mereka tidak punya dukungan besar di Sidang Umum PBB.
"Namun tuduhan bahwa mereka separatis cukup besar, dan ada benarnya tentu, karena sebagian dari mereka adalah true believers --percaya bahwa mereka bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Secara real politik, sangat sulit dengan hanya dukungan beberapa negara kecil -- Vanuatu, Solomon Islands, dan lain-lain -- buat mengubah voting di PBB. Suatu bangsa baru bisa jadi negara sendiri bila didukung sedikitnya duapertiga dari anggota PBB. Papua perlu setidaknya dukungan 130 negara buat merdeka," lanjut Andreas.
Kendati kelompok-kelompok ini pengaruhnya kecil, Andreas khawatir pemerintah daerah dan pemerintah pusat bisa saja membungkam mereka dengan memakai Perppu No 2 tahun 2017.
"Perppu ini bisa saja dipakai oleh pemerintah daerah dan pusat buat menangkap dan memenjarakan mereka," kata dia.
Berbagai kalangan telah menyerukan kepada pemerintah untuk meninggalkan cara-cara kekerasan maupun pembungkaman yang tidak demokratis dalam menghadapai kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah di Papua. Secara khusus, ULMWP oleh berbagai kalangan dipandang dapat menjadi representasi rakyat Papua.
Pater Neles Tebay, salah seorang tokoh muda Papua yang banyak berkecimpung dalam mengatasi konflik di Papua, mengatakan saat ini seharusnya pmerintah lebih mudah melakukan dialog dengan orang Papua yang melakukan perlawanan karena sejak Desember 2014, kelompok-kelompok perlawanan Papua sudah bersatu dalam wadah ULMWP.
Pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura itu mengatakan, ULMWP mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari orang Papua di Tanah Papua, Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua yang bergerilya di hutan, dan orang-orang Papua di di luar negeri.
Menurut dia, ULMWP juga sudah diakui secara innterasional sebagai representasi kelompok-kelompok perlawanan Papua. "Dengan demikian, ULMWP merupakan representasi kelompok-kelompok perlawanan Papua dalam dialog dengan Pemerintah," tutur dia dalam artikel Gebuk atau Dialog Papua.
Editor : Eben E. Siadari
Sindikat Uang Palsu di UIN Alauddin Makassar, Operasi Mulai ...
MAKASSAR, SATUHARAPAN.COM-Sindikat uang palsu di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar te...