Melawan Separatis Tuareg, 30 Tentara Mali Terbunuh
KIDAL, SATUHARAPAN.COM – Kementerian Pertahanan Mali pada Kamis (22/5) mengatakan 30 orang tentara terbunuh pada bentrokan dengan separatis Tuareg yang mengklaim telah merebut beberapa kota di utara negara tersebut.
Pasukan militer telah melancarkan serangan untuk merebut kembali kekuasaan Kidal setelah bentrokan pecah ketika Perdana Menteri Moussa Mara mengunjungi kota itu pada Sabtu (17/5).
Kelompok separatis Tuareg memukul balik pada Rabu dan Kamis dan mengatakan mereka telah merebut lebih banyak kota di wilayah utara tanpa pertempuran setelah pemerintah meninggalkan posisi mereka dan mengungsi di kamp misi perdamaian PBB, MINUSMA, atau melarikan diri ke Selatan.
“Kami kini menguasai Anefis, Aguelhok, Tessalit, Menaka, Ansongo, Anderaboukane, dan Lere,” tutur Attaye Ag Mohamed, pejabat Gerakan Nasional untuk Kemerdekaan Azawad (MNLA) Tuareg.
“Kami akan mempertahankan posisi kami. Kami akan mengawasi memerhatikan seruan masyarakat internasional yang meminta kami menghentikan serangan. Kami juga memerhatikan Pemerintah Mali yang meminta gencatan senjata,” kaya Attaye.
Setelah bentrokan yang terjadi, MINUSMA menampung 62 tentara pemerintah di kamp Kidal dan 290 tentara di Aguelhok. Pada beberapa hari belakangan, kamp itu telah menangani 20 tentara yang terluka, dan dua di antaranya berada dalam kondisi kritis, ungkap PBB.
“Pelanggaran HAM terjadi selama bentrokan di Kidal,” PBB menambahkan.
PBB mendesak dilakukannya gencatan senjata di utara Mali, di mana perang antara separatis Tuareg dan tentara pemerintah telah membahayakan perjanjian perdamaian tahun lalu.
“Dan di hadapan rasa kemanusiaan, mitra kemanusiaan kami mengatakan setidaknya 3.400 warga Kidal menyelamatkan diri ke pedesaan, Aljazair dan Gao sejak bentrokan meletus,” Stephane Dujarric, juru bicara PBB mengatakan. “Sekitar 450 orang di antaranya telah tiba di Gao. Lembaga-lembaga kemanusiaan mengirimkan bantuan ke Gao karena Kidal tidak dapat diakses oleh relawan kemanusiaan dari kota lainnya.”
Pemerintah Mali mengeluarkan pernyataan pada Rabu (21/5) memerintahkan gencatan senjata sesegera mungkin.
Seorang anggota parlemen, Algabass Ag Intallah mengatakan pasukan Mali telah ditarik keluar dari beberapa kota dan seorang sumber dari militer Mali mengatakan para tentara juga menarik diri dari wilayah-wilayah di mana mereka kalah jumlah.
Kegagalan militer menjadi kemunduran bagi pemerintahan Presiden Ibrahim Boubacar Keita dan ancaman untuk menenggelamkan proses perjuangan menyelesaikan pemberontakan Tuareg di utara.
Mali jatuh dalam kekacauan pada 2012 setelah pejuang kemerdekaan Tuareg bekerja sama dengan kelompok-kelompok yang terkait dengan al-Qaeda untuk merebut wilayah utara menyusul kudeta di ibukota. Operasi militer yang dipimpin Prancis berhasil memukul mundur kelompok islamis itu tahun lalu.
Menteri Luar Negeri negara tetangga Burkina Faso, Djibril Bassole yang telah menjadi mediator di Mali mengatakan pada radio Prancis RFI, “ada bahaya bahwa fenomena yang sama seperti tahun 2012 dapat terjadi kembali.”
Rinaldo Depagne, direktur program pencegahan konflik International Crisis Group untuk Afrika Barat mengatakan, “Presiden Keita bukan hanya kehilangan wilayah utara, melainkan kehilangan otoritasnya di Selatan.” (alarabiya.net)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...