Memaknai Teguran Jokowi kepada Menteri Susi
Mari bicara jujur tentang ekonomi, meskipun itu pahit.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Demokrasi acap kali menjelma jadi ajang popularitas. Berlomba meraih sebanyak mungkin pendukung. Dan perlombaan itu meninggalkan bekas bahkan ketika pemilu sudah usai.
Ini terasa di Indonesia. Sebagian masyarakat -- paling tidak bila menyimak reaksi di media sosial -- masih terus memelihara keterbelahan pada pemilu lalu: Pro-Jokowi dan No-Jokowi.
Dalam iklim seperti ini sulit melancarkan kritik bahkan yang paling rasional sekalipun. Ada tendensi memutlakkan dukungan. Kalangan Pro-Jokowi akan membela mati-matian kebijakan apa pun yang diambil oleh menteri-menteri Jokowi. Sebaliknya, mereka yang masih terluka oleh kekalahan jagoannya pada pemilu 2014, menganggap apa saja yang dilakukan kabinet Jokowi salah.
Sebagai pemenang pemilu dan yang menjalankan pemerintahan tentu wajar jika Pak Jokowi dan menteri-menterinya menjadi sorotan. Sayangnya, bagi Pro-Jokowi kritik terhadap menteri-menteri Jokowi(apalagi menteri yang dianggap paling dekat dengan beliau) akan dipandang sebagai kritik terhadap Jokowi sendiri. Sulit belakangan ini mendiskusikan kritik terhadap Jokowi secara jernih karena akan dengan cepat diwarnai oleh anasir-anasir pro-kontra meraih popularitas. Kritik seringkali dihakimi dan kemudian dikaburkan (atau memang sengaja dikaburkan) sebagai ujaran kebencian (bahkan dicurigai sebagai makar). Padahal seharusnya hal itu dapat dibedakan.
Syukurlah, ada harapan baru, saat membaca adanya teguran halus Jokowi terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang disampaikan saat memberikan pengarahan kepada para pelaku pasar modal di Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin (04/07). Teguran itu berkaitan dengan pelarangan cantrang, yang sudah lama menjadi isu yang membuat gaduh dunia kelautan dan perikanan Indonesia. (Dalam tulisan ini rincian isu cantrang tidak dibahas, pembaca diharapkan dapat melihatnya lewat pemberitaan lain).
Di kalangan pendukung Presiden Jokowi, sudah lama Menteri Susi menjadi sosok pahlawan yang mendapat glorifikasi yang luar biasa. Apa pun ucapannya dan tindakannya selalu dibela habis-habisan. "Tenggelamkan" adalah kata-katanya yang sangat populer. Mulai dari sepatu yang dikenakannya, tato pada kakinya, kopi yang diminumnya, kebiasaan merokoknya, bahkan cara tidurnya, menjadi objek pembahasan. Dan jangan ada yang coba-coba mengeritiknya.
Itu sepenuhnya bukan salah Ibu Susi. Publik yang harus didewasakan untuk dapat bersikap kritis, bahkan kepada sosok yang dianggapnya idola. Publik harus disadarkan kembali bahwa masalah ekonomi tidak bisa dihadapi dengan popularitas. Kekuasaan dan kursi menteri barangkali bisa langgeng oleh dukungan. Tetapi dalam soal ekonomi, seberapa besar pun dukungan yang diperoleh, jika kebijakan yang diambil salah, perekonomian akan menuju arah yang salah.
Membicarakan masalah ekonomi secara jujur sangat penting walaupun itu berarti mengungkapkan hal-hal pahit yang dapat mengganggu popularitas. Itu harus dilakukan agar tak terjebak di jalan yang salah melainkan menemukan arah yang benar.
Belakangan ini menyeruak diskusi tentang utang negara kita. Faktanya adalah total utang pemerintah RI saat ini mencapai Rp 3.672,33 triliun. Hanya dalam 2,5 tahun, utang pemerintah bertambah Rp 1.062 triliun dari posisi pada tahun 2014 sebesar Rp 2.604,93 triliun.
Dalam membicarakan hal ini, pemerintah lebih sering mengungkapkan sisi terangnya. Bahwa utang itu diperlukan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru 27 persen, relatif aman karena dibawah 30 persen yang diharuskan UU, dan relatif kecil bila dibandingkan dengan negara lain. Bahwa utang itu dipakai membiayai defisit APBN yang jumlahnya masih di bawah batas maksimum 3 persen PDB yang diperbolehkan UU. (Beberapa ekonom menganggap batas aman defisit APBN adalah 2 persen dari PDB).
Sekarang sudah saatnya (sebelum terlambat) sisi buram dari utang ini diperlihatkan, diperbincangkan dan bahkan disosialisasikan. Pemerintah harus jujur mengakui bahwa utang yang tumbuh dengan cukup cepat itu bukan hanya untuk membiayai pembangunan infrastruktur, tetapi juga untuk membayar utang yang jatuh tempo. Bahkan sebetulnya itulah salah satu alasan pokok dalam bertambahnya utang. Sebuah kenyataan pahit yang harus disampaikan tanpa berbungkus eufemisme, bahwa untuk membayar utang, pemerintah harus menarik utang baru.
Hal ini penting karena kita semua, terutama mereka yang bekerja di birokrasi, harus tahu bahwa APBN kita mengalami defisit primer yang kronis: pengeluaran lebih besar dari pendapatan, pasak lebih besar dari tiang, dan karena itu strategi pengelolaan anggaran dan pembelanjaannya seharusnya dijalankan dalam spirit penuh kehati-hatian, tetapi juga kesederhanaan.
Kesan kita spirit ini belum ada. Semangat 'mengencangkan ikat pinggang' dan hidup sederhana yang sangat populer di era 1980-an hingga 1990-an justru tatkala kita disebut sebagai Macan Asia, kini seperti tampak tenggelam oleh euforia bahwa kita ini adalah angggota G-20. Semangat untuk menunjukkan kita adalah bangsa yang besar sepertinya harus dimanifestasikan dengan anggaran yag besar. Gagasan-gagasan spektakuler yang produktivitasnya masih dipertanyakan pun dilontarkan, berbagai ajang olah raga internasional dan dunia ingin kita menjadi tuan rumahnya. Perlu dipertanyakan apakah ini spirit dari sebuah negara yang dihimpit oleh defisit primer yang kronis.
Bukti-bukti bagaimana kita belum menghayati sebuah negara yang gali lubang tutup lubang bisa dilihat dari apa yang beberapa waktu lalu dikemukakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR). Dalam APBN 2017, kementerian ini menargetkan penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP) untuk 120 ribu unit rumah subsidi dengan nilai Rp 11,47 triliun. Lalu Subsidi Selisih Bunga dianggarkan untuk 225 ribu unit dengan nilai Rp 3,7 triliun dan Bantuan Uang Muka (BUM) untuk 550 ribu unit dengan nilai Rp 2,2 triliun.
Lalu apa yang terjadi? Pekan ini pihak Kementerian mengatakan anggaran itu akan dievaluasi. Koreksinya sungguh mencengangkan bahkan menunjukkan bahwa perencanaan itu terkesan asal-asalan. FLPP dipotong menjadi hanya sepertiga dari rencana awal (40.000), begitu juga dengan BUM dipangkas hampir separuh (menjadi 278 ribu unit). Sedangkan SSB dinaikkan menjadi 239 ribu unit.
Kenapa hal-hal seperti ini perlu dikemukakan? Kenapa spirit mengencangkan ikat pinggang dan hidup sederhana perlu dibangkitkan? Karena negara yang dibuai oleh tawaran utang tanpa spirit untuk mengelolanya secara produktif, pertama-tama justru akan menguntungkan kalangan pengambil keputusan yang salah itu, dan pada saat yang sama memarginalkan bahkan meninggalkan masyarakat akar rumput yang belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, padahal mereka yang seharusnya menjadi subyek pembangunan. Bukan berita baru bahwa Indonesia mengalami tingkat ketimpangan yang tinggi dalam lima tahun terakhir, dan kebetulan pula dalam tahun-tahun yang sama defisit primer pada APBN kita muncul.
Pada situasi optimisme tinggi yang dibiayai oleh utang, jarak ketimpangan akan semakin lebar dan mereka yang tertinggal akan terlupakan. Radikalisme bahkan kemudian revolusi, acap kali datang dari sana. Jangan sampai.
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...