Mempertanyakan Kode Etik DPR dan MKD
SATUHARAPAN.COM – Dua kali sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) mendapat sorotan tajam dari publik maupun para pakar, bahkan banyak komentar yang bernada sinis. Sidang itu adalah untuk mengadili dugaan pelanggaran etik oleh Ketua DPR RI, Setya Novanto.
Kasus ini, terkait dengan laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, tentang dugaan Setya Novanto mencatur nama Presiden dan Wakil Presiden berkenaan dengan permintaan saham PT Freeport.
Masalah etis pertama yang dipertanyakan adalah tentang independensi MKD dalam persidangan. Hal itu muncul karena MKD yang mengadili kasus dugaan pelanggaran etik Setya Novanto, tetapi dalam satu sidang, saksi Sudirman Said justru didesak dan cenderung diposisikan sebagai ‘’tersangka’’.
Hal sama terjadi pada saksi Presiden Direktur Freeport, Maroef Sjamsoeddin, yang mengaku sebagai pembuat rekaman dan merupakan bukti utama dari kasus ini. Sebagian besar dari 17 anggota MKD justru memojokkan dia.
Dua sidang itu mendorong publik mempertanyakan indenpendensi MKD. Padahal menurut Peraturan DPR RI No. 1 tahun 2015 tentang Kode Etik DPR disebutkan bahwa anggota MKD harus bersikap independen, bebas dari pengaruh fraksinya atau pihak lain. Pimpinan Fraksi atau pimpinan DPR juga dilarang intervensi terhadap putusan MKD. Ini Peraturan DPR yang diteken oleh Setya Novanto sendiri. Dan sekarang publik mempertanyakannya. Ini berarti juga mempertanyakan komitmen Dewan dalam melaksanakan aturannya sendiri.
BACA JUGA: |
Kode Etik untuk Siapa?
Kode Etik DPR sendiri tampaknya juga harus digugat lebih dulu. Kode Etik DPR semestinya dibuat bukan demi DPR, tetapi demi rakyat yang diwakili. Kode itu untuk melindungi rakyat dari perilaku tidak etis anggota Dewan. Kode etik itu haruslah komitmen untuk mencegah berperilaku yang merugikan rakyat.
Hal sama adalah Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai komitmen etis melindungi kepentingan pembaca dan publik. Kode Etik Dokter, adalah komitmen etis dokter untuk melindungi pasien, termasuk dari tindakan malpraktik.
Konsekuensi dari kode etik adalah adanya lembaga yang bertugas menegakkan etika, termasuk ‘’mengadili’’ ketika ada pengaduan. Anggota lembaga itu semestinya memasukkan unsur masyarakat, pihak yang dilindungi oleh kode itu, dan untuk menjaga independensinya. Dan MKD juga semestinya memasukkan anggota dari unsur masyarakat. Tidak adanya wakil dari masyarakat terbukti menjadi celah di mana MKD gampang dikendalikan oleh kepentingan lain.
Kritik tentang Etika
Masalah etika memang menjadi masalah serius dalam politik di Indonesia, bahkan juga kriminal. Hal ini terlihat jelas di mana kasus korupsi banyak sekali melibatkan politisi di Dewan, baik di daerah maupun di pusat.
Ketika Dewan membuat Kode Etik pun terlihat hanya sebagai ‘’gincu’’ politik. Hal itu tercermin dalam ketentuan tentang untuk apa Kode Etik itu dibuat. Pasal 1 ‘’Ketentuan Umum’’ peraturan itu menunjukkan Kode Etik DPR memang cenderung demi kepentingan DPR. Disebutkan ‘’Kode Etik DPR adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugas untuk menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR.’’
Kode Etik ini memang demi kehormatan DPR, bukan menjaga kepentingan dan melindungi rakyat dan konstitusi. Ketentuan ini potensial jadi elastis dan diinterpretasikan dengan berbagai kepentingan, termasuk menutupi aib anggota Dewan sebagai ‘’menjaga martabat, kehormatan dan kredibilitas DPR.’’
Oleh karena itu, bukan hanya independensi MKD yang harus dipertanyakan, tujuan adanya Kode Etik dan komposisi keanggotaan MKD semestinya juga dipertanyakan. Semua itu haruslah menyadarkan Dewan bahwa hujan kritik pada lembaga legislatif ini tertuju pada hal yang sangat mendasar, soal etika.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...