Menag Minta Tuntutan Penutupan Krematorium Diselesaikan Melalui Dialog
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berharap masalah tuntutan penghentian operasi krematorium (pembakaran mayat) di Rumah Duka Himpunan, Kota Padang, Sumatra Barat dapat diselesaikan dengan mengedepankan dialog.
Sekelompok massa mendesak penghentian pembakaran mayat (kremasi) warga etnis tionghoa di Rumah Duka Himpunan Bersatu Teguh (HBT), Kota Padang pada 22 Maret lalu. Meski sudah mengantongi izin dari Pemkot Padang, massa menilai keberadaan krematorium di lokasi padat penduduk tersebut sangat mengganggu dan tidak memperhatikan keselarasan lingkungan hidup.
Media lokal melaporkan massa mengatasnamakan Jamaah Masjid Muhammadan beberapa kali menggelar aksi demo menuntut ditutupnya krematorium tersebut.
Koordinator demo, Irfianda Abidin seperti dikutip Go Sumbar mengatakan keberadaan krematorium dinilai cukup meresahkan. Pasalnya lokasi krematorium hanya berjarak sekitar 40 meter dari masjid. Kondisi itu dinilai tidak etis karena ketika umat muslim& sedang beribadah, didekatnya ada pembakaran mayat.
"Penyelesaian perselisihan terkait legalitas krematorium haruslah mengedepankan dialog. Dan bila dianggap perlu, penyelesaian hukum melalui peradilan haruslah menjadi solusi akhir, bukan dengan cara kekerasan main hakim sendiri," ujar Menag di Jakarta, Minggu (26/3).
Kremasi menurut Menag tidak hanya merupakan tradisi sebagian masyarakat keturunan tionghoa. Lebih dari itu, proses kremasi juga menjadi wujud pengamalan keyakinan agama.
"Pemerintah Pusat dan Daerah harus menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk menjalankan ajaran agama yang dipeluknya," katanya.
SETARA Institute melalui rilisnya menjelaskan bahwa proses krematorium di Rumah Duka HBT dilakukan secara modern menggunakan oven dan mesin pembakaran yang ditenggarai tidak akan menganggu kesehatan masyarakat, apalagi kegiatan tersebut dilakukan di ruangkan tertutup dan tidak setiap hari.
SETARA juga menilai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 2011 soal aturan pelayanan pemakaman itu diskriminatif dan memberatkan warga keturunan tionghoa karena biayanya mencapai Rp 2.500.000 per dua tahun.
Lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan kesetaraan, keberagaman, solidaritas, dan menjunjung tinggi martabat manusia itu meminta Pemerintah bersikap tegas terhadap kelompok intoleran yang menggunakan isu agama untuk mendiskriminasi kelompok minoritas lainnya.
Selain itu, SETARA juga minta Mendagri agar mencabut perda retribusi tentang pemakaman bagi warga keturunan Tionghoa di Padang yang dinilai sangat memberatkan. (kemenag.go.id)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...