Mencintai atau Bahagia, Mana Duluan?
Tak mudah mencintai seseorang tanpa pamrih.
SATUHARAPAN.COM – Miris rasanya membaca kisah Mbah Karep yang diberitakan media belakangan ini. Kakek usia 65 tahun tersebut dinyatakan pernah berbahagia karena menikah dengan seorang perempuan bernama Wiji. Belum sempat memiliki keturunan, Mbah Karep diserang kanker kulit yang tak kunjung sembuh. Perkawinan pun berakhir tragis karena dia diusir dari rumah istrinya. Kini Mbah Karep hidup sendiri, berpindah-pindah gubuk berkat bantuan orang sekitarnya.
Keputusan Sang Istri mengusir suaminya sangat menggelitik hati saya. Padahal saat itu Sang Suami sangat mengharapkan uluran tangannya. Apa sebenarnya yang menjadi motivasi awal dia menikah? Bukankah dalam pernikahan ada komitmen untuk hidup bersama saat suka apalagi duka? Apakah dia mengusir suaminya karena tidak bisa memberikan keturunan atau karena tidak mau repot merawat suaminya atau karena faktor ekonomi. Bisa jadi ada alasan lain. Entahlah, tak baik menghakimi secara sepihak.
Cerita mereka bertolak belakang dengan kisah heroik Eko Pratomo Suyatno. Sebagai pemimpin perusahaan, akan mudah bagi dia untuk meninggalkan istrinya dan mencari pasangan lain yang jauh lebih baik. Tetapi sebaliknya, sudah lebih dari 25 tahun Eko tekun merawat istrinya yang lumpuh total sejak melahirkan anak keempat. Di tengah-tengah kesibukannya setiap hari, dia harus bersusah payah sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, mengangkat dan selalu menggendong istrinya agar tidak merasa kesepian. Tidak ada kata terima kasih yang dia peroleh dari istrinya. Hanya tatapan kosong karena kelumpuhan membuat istrinya tidak bisa bicara. Eko melakukan semuanya itu dengan penuh cinta tanpa pamrih.
Kalau kondisi serupa terjadi pada pasangan kita, pilihan mana yang akan kita ambil? Pertanyaan serupa pernah saya lontarkan kepada pasangan saya belum lama setelah menikah. Jawabannya sangat jujur dan sederhana: ”Belum tahu!”
Memang tidak mudah untuk mencintai seseorang tanpa pamrih. Hal itu hanya teruji tatkala masalah mendera. Jangankan kesulitan ekonomi atau penyakit, masalah sepele pun kadang sudah membuat kita kehilangan cinta kepada pasangan. Bagaimanapun pilihan harus diambil. Apakah kita harus dalam kondisi bahagia dahulu baru mampu mencintai dengan tulus? Ataukah kita memilih bahagia kemudian karena tetap mencintai tanpa pamrih?
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...