Menebar Kemajemukan, Menepis Fundamentalisme
Klaim superioritas perlu direvisi.
SATUHARAPAN.COM – Konflik SARA? Mendengarnya saja sudah ngeri, apalagi mengalami. Sudah banyak terjadi baik yang teringat maupun yang terpendam menjadi amnesia sejarah.
Konflik berbau SARA berulang terjadi, merobek kebhinekaan kita, menghunjam keberadaban kita sebagai manusia pancasilais yang menjunjung tinggi Ketuhanan yang Maha Esa. Semangat pluralisme di Indonesia disinyalir mengalami kelunturan. Indikasi ini tampak dari rendahnya pengakuan terhadap eksistensi kepercayaan dan agama lain. Pengakuan yang dimaksudkan itu dalam bentuk penghargaan dan penghormatan beribadah dan pendirian tempat ibadah juga kian menurun.
Jika pluralisme dipandang dari perspektif HAM, semestinya setiap warga negara memiliki hak beragama dan beribadah secara bebas dan dilindungi oleh negara menurut agama dan kepercayaannya. Tiap perayaan Hari Besar Keagamaan semestinya juga menjadi spirit untuk meningkatkan keutuhan bangsa dalam rangka merajut keindonesiaan kita yang bersatu, adil dan sejahtera.
Dengan menebar kemajemukan, kita akan menepis segala corak fundamentalisme. Klaim superioritas perlu direvisi, sehingga Indonesia menjadi rumah bersama yang ramah bagi segenap warga negara yang beragam suku, agama, ras dan antargolongan.
Oleh karena itu, selain mendorong pemerintah agar menertibkan peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif, perlu juga dikembangkan spirit toleransi. Toleransi yang tidak didasari oleh dominasi, yaitu tuntutan atas dasar kebebasan yang pada akhirnya menimbulkan benturan dan bentrokan horisontal. Toleransi harus didasarkan pada konteks sosial dalam bingkai kebebasan kasih, di mana orang melakukan dan memperlakukan sesama manusia sebagaimana dia ingin diperlakukan oleh yang lainnya. Jika kita ingin dihargai, mulailah dengan menghargai sesama.
Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kemajemukan di Indonesia harus diselesaikan seadil-adilnya. Demi membangun rekonsiliasi perlu dikuak akar konfliknya. Rekonsiliasi sejati bukanlah hanya membuka aib dan dosa masa lalu, melainkan juga kejujuran diri hingga tercipta kesadaran sejarah untuk mengakui kesalahan dan mengampuninya. Dengan cara itu, diharapkan tidak mengendapkan luka-luka lama, tetapi justru memunculkan harapan baru memasuki tatanan kehidupan Indonesia yang adil dan bermartabat di mana harmoni menjadi pemandangan sehari-hari.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...